Beberapa hari ini badanku kurang sehat. Lemas dan juga pusing merayapiku. Mungkin karna kurang istirahat dan juga makanku yang tidak teratur.
Sedangkan suamiku masih bersikap cuek, bahkan melihat keadaanku begini saja tidak ada reaksi positif darinya. Sangat berbeda dengan biasanya.
Aku berpikir perubahan sikapnya itu apa karena kematian Shelvia? Apa dia juga menganggap aku yang tidak pandai mengurusi anak. Dia marah dan kecewa padaku.
Jika aku memikirkan hal itu, kepalaku akan semakin sakit. Aku berusaha untuk menghilangkan pemikiranku itu. Karenaku masih ingat komitmen pernikahan kami yang dari awal kami buat. Saling percaya dan selalu berpikir positif dengan pasangan. Setia dan saling menjaga perasaan satu sama lain. Berjanji tidak akan mengkhianati dan saling terbuka.
Namun sulit rasanya untuk mengabaikan pikiran itu jika mengingat sikap suamiku yang semakin hari semakin mengacuhkanku.
" Kakak mau pergi lagi? " Aku bertanya padanya ketika ia sudah rapi dengan pakaian hangat di musim dingin ini.
Dia hanya menjawab pertanyaanku dengan deheman. Aku mengamati gerak - geriknya yang sedang sibuk mencari sarung tangan. Padahal baru satu jam yang lalu ia kembali setelah dua hari ini dia menginap di rumah orangtuanya.
" Kak, aku mau pulang ke Indonesia. "
" Silahkan. "
Aku terpaku mendengar jawaban singkat darinya. Dia bahkan tidak menatapku saat berbicara.
Aku memang ada niat untuk pulang ke Indonesia untuk menenangkan pikiranku. Tapi hatiku semakin hancur setelah mendapatkan tanggapan darinya.
Kak Leon biasanya akan bertanya alasanku kenapa minta pulang ke Indonesia. Tapi sekarang dia seolah tidak peduli. Aku tadinya cuma mau mengujinya. Biar kami bisa bicara lebih banyak lagi.
" Kakak kenapa sih? " tanyaku sedikit kesal. Aku masih bisa menahan air mataku yang sudah tergenang dipelupuk mataku. Dia menatapku datar.
" Aku kenapa? " tanyanya balik.
Aku menghembuskan nafas berat sebelum menjawabnya. " Kakak berubah. Kakak nggak seperti dulu lagi. Apa kakak marah sama aku? Atau kakak juga merasa aku ini perempuan pembawa sial? Sama halnya yang dikatakan Amber dan Oma. Aku hancur kehilangan Shelvia, tapi hatiku semakin hancur melihat sikap Kakak yang sekarang ini. Kakak yang dulu selalu membela dan melindungiku di depan keluarga Kakak. Tapi kemaren, Kakak diam. Kakak biarkan mereka menghinaku di depan mata kakak sendiri. Itu seakan memberitahuku kalau kakak juga berpikiran seperti mereka. Kalau gitu aku mau pulang aja, Kak. Buat apa aku disini. " Aku mengeluarkan semua unek - unekku yang sudah beberapa minggu ini aku pendam sendiri. Aku tidak peduli dengan suaraku yang meninggi padanya. Seiring itu, air mataku bercucuran tidak tertahankan.
Dia diam sejenak menatapku. Tanpa bergerak dan berniat untuk mendekatiku. Sikapnya itu membuatku semakin menangis sesenggukan.
" Kamu bicara apa sih. " gumamnya setelah membuang mukanya dariku. Dia berlalu begitu saja tanpa mempedulikan aku yang sudah banjir air mata.
Aku tersungkur dilantai. Menangis seorang diri. Sesekali aku berteriak sekencang - kencangnya. Jujur, aku tidak sanggup lagi menghadapi ini semua. Selama ini aku selalu kuat menghadapi apapun permasalahan yang datang dirumah tanggaku karena adanya suamiku yang selalu mendampingiku. Tapi sekarang dia membiarkan aku seorang diri. Aku rindu perlakuan hangatnya. Aku butuh pelukannya.
" Ayah, Kak Leon jahat, Yah. " Aku meracau menyebut nama Ayahku. Kalau saja aku berani untuk mengadukan semua ini pada Ayah, aku akan lakukan ini dari kemaren. Namun aku tidak mau menambah beban pikiran orangtuaku dengan permasalahan rumah tanggaku. Aku juga tidak ingin Ayah membenci suamiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amora the Series
Fiksi UmumSiapa yang menikah tidak mengharapkan hadirnya keturunan? Mungkin ada satu dari seribu pasangan suami istri berpikir seperti itu. Tapi tidak denganku. Aku sangat menginginkan adanya anak didalam rumah tanggaku. Tapi kenapa mereka seolah selalu menud...