Aku terbangun ketika ringtone adzan berkumandang dari handphone suamiku, ku lirik sosok di sampingku, yang beberapa hari ini sangat aku rindukan. Rasanya kami sudah lama tidsk bersama.
Ku habiskan waktu sejenak untuk memandangi wajah suamiku yang masih separuh sadar. Dia menggeliat seakan berontak tidak mau bangun pada saat ini. Rasa mual kembali menyapaku dipagi ini yang mengharuskanku untuk beranjak dari ranjang. Aku segera bangkit dan bergegas ke kamar mandi.
" Hueekkk hueeek. " Selalu begitu setiap aku bangun tidur. Padahal tidak ada yang keluar, sesekali sedikit air bening yang keluar dari mulutku. Begini, ya, rasanya kalau hamil? Aku baca di google biasanya ibu hamil akan mengalami morning sickness selama tiga bulan awal. Berarti aku akan seperti ini terus selama satu bulan kedepan dong? Ach!
Aku merasakan pijatan di tengkukku, rasa mualku perlahan menghilang dan terasa lebih enakan.
Aku memandang cermin dihadapanku. Terlihat pantulan diriku, dan sosok lelaki disampingku.
Mataku tiba - tiba memanas, rasanya sudah lama sekali aku tidak mendapatkan perhatian darinya. Dia terlalu jauh bagiku seminggu ini.
" Udah, Kak. " Aku menyingkirkan tangannya, memintanya berhenti memijit tengkukku.
" Kamu kenapa, sayang? Masuk angin? " tanyaku khawatir. Air mataku semakin deras mengalir.
" Aku nggak masuk angin, " gumamku sambil menghapus kasar air mataku. Aku tidak mengerti kenapa tiba - tiba aku menangis. Masa diperlakukan seperti itu saja oleh suami, aku menangis? Lebay kamu, Amora!
Kak Leon mengkerutkan keningnya. " Kalau nggak masuk angin, kenapa mual - mual begini? Terus kenapa juga kamu jadi nangis? " Dia mengusap lembut bahuku dengan tatapan herannya.
" Aku juga nggak tahu. " kesalku. Aku kesal pada diriku sendiri yang jadi cengeng di depan suamiku.
Kak Leon terkekeh sembari menggelengkan kepalanya. Dia meraih tanganku yang masih sibuk menghapus air mataku.
" Udah jangan diusap gitu matanya. Lihat tuh sampai merah. "
Aku cemberut membuatnya tersenyum. Dengan gemas lelaki yang begitu ku cintai ini mengusap pipiku.
" Maaf ya, sayang, beberapa hari ini aku kurang memperhatikan kamu. " Wajahku berubah cengo. Apa dia mengerti perasaanku? Ah, dia memang lelaki terbaik untukku. Aku tidak pernah salah memilihnya.
" Apa sih, Kak. Nggak papa kali. Kakak pikir aku cemburu karena Kakak selalu memperhatikan Oma? Aku tahu lagi betapa sayangnya Kakak sama Oma. " cerocosku. Aku menyingkirkan tangannya dari wajahku dan kembali menghapus bekas air mata dipipiku.
" Makasih ya, sayang. Kamu istri yang sangat pengertian. " ucapnya dengan tulus. Aku menatap netranya dengan lembut. Hatiku ingin sekali berteriak dan mengatakan kabar gembira itu padanya. Sekarang waktunya!
Aku menggenggam kedua tangannya dan tersenyum manis. Ku tarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Jantungku tiba - tiba berdegup kencang persis ketika dia datang menghadap Ayahku untuk meminangku menjadi istrinya. Pret.
" Kak... "
Bruk!
" Astaghfirullah. Oma! " Aku melotot melihat suamiku yang sudah berlari keluar dari kamar kami karena mendengar sesuatu yang jatuh dari arah kamar sebelah.
Oma sudah di perbolehkan pulang kemarin, tapi Kak Leon membawa Oma kesini, katanya biar dia bisa membantu mengurus Oma, dan mudah menolong jika terjadi hal - hal yang tidak diinginkan sampai keadaan Oma benar - benar membaik.
Aku menghembuskan nafas panjang. Lagi - lagi aku gagal memberitahunya. Kenapa ada saja hambatan untuk memberitahu kabar bahagia ini kepada suamiku?
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Amora the Series
General FictionSiapa yang menikah tidak mengharapkan hadirnya keturunan? Mungkin ada satu dari seribu pasangan suami istri berpikir seperti itu. Tapi tidak denganku. Aku sangat menginginkan adanya anak didalam rumah tanggaku. Tapi kenapa mereka seolah selalu menud...