18

30.8K 2.3K 118
                                    

"Bisa langsung kita mulai, Pak Davin?"

Helaan napas Davin terdengar berat. Lelaki penuh wibawa itu kemudian mengangguk. Menegakkan punggungnya, Davin menatap orang di sekitarnya satu-persatu.

"Sebelumnya, atas segala rasa malu akibat perbuatan yang sudah anak saya lakukan, saya meminta maaf kepada Anda. Juga dengan putri anda, Callista."

Callista hanya menunduk dalam rengkuhan tangan Ara.

"Pertama, saya minta maaf atas nama anak saya yang telah berbuat demikian. Perbuatan yang tidak patut dibenarkan dari sisi manapun."

"Saya juga minta maaf atas nama saya sendiri, sebagai orangtua Nathan, saya merasa gagal mendidiknya. Entah ini karena pengaruh pergaulannya atau salah kami sebagai orang tua yang gagal mendidiknya, saya benar-benar minta maaf." Tutur Davin secara lugas.

Anggara mengangguk, "saya juga tidak bisa menyalahkan dari satu pihak saja, Pak. Karena anak saya pun juga salah. Mereka berdua sama-sama mau, jadi saya tidak bisa hanya menyalahkan Nathan."

"Apa ada yang mau kamu sampaikan, Nathan?" Davin memention keterdiaman Nathan. Ia merangkul pundak putranya agar Nathan sadar kalau ia harus mengakui keasalahannya disini.

Pandangan semua orang kini terfokus ke arah lelaki dengan kemeja hitam berlengan panjang yang sejak tadi diam menatap Callista.

Shiren, gadis itu mulai paham. Meskipun ia masih polos, namun ia tidak bodoh dengan tidak tahu maksud kedua orang dewasa tadi.

Nathan lagi-lagi hanya menatap Callista. Sejenak pandangan mereka bertemu. Callista menatap raut kekasihnya yang lempeng-lempeng saja. Berbeda dengannya yang sudah gemetaran.

Sebentar, Callista menatap ada yang mengganjal dari wajah Nathan. Lebam di sudut bibir Nathan menarik pikiran Callista untuk berpikir kalau Davin memukul kekasihnya. Callista semakin dibuat khawatir sekarang.

"Aku minta maaf. It's all my fault. Callista udah nyuruh aku pulang, tapi aku keras kepala dan maksa buat tetap tinggal. Callista nggak salah disini, Om." Nathan berucap dengan mata terus memandang Callista.

Para lelaki dewasa dibuat tertawa kecil dengan omongan Nathan. Dimata mereka, Nathan terlihat sedang melindungi Callista.

"Hm, it's all your fault, Nathan." Balas Anggara dengan senyum-nya. "Bisa kamu ngomong sambil tatap saya? Apa empat hari di apartemen Callista masih kurang?"

Suara tawa dari Davin dan Ara terdengar. Mereka melirik Nathan tajam untuk tidak lagi menatap Callista terus menerus.

Dilain sisi, wajah Callista memerah.

"Nggak bisa Om, saya harus yakinin Callista kalau semua bakal baik-baik aja." cakap Nathan dengan segala rasa kasmarannya yang kental.

Davin menggeleng, menepuk bahu anaknya dua kali. "Jangan terlalu percaya diri, Nathaniel." bisik Davin pelan sekali. Anaknya pun tidak mendengarnya.

"Kalau begitu saya tanya ke kamu, juga ke Callista. Apa saja yang sudah kalian lakukan selama empat hari itu?" tanya Anggara gamblang.

Shiren menelan rasa sakit hatinya. Jadi, selama empat hari Nathan dan Callista tinggal bersama. Pasti hubungan keduanya sudah merambat ke hal yang negatif. Orang yang ia sukai itu sudah menjadi milik Kakaknya sepenuhnya. Apa ia harus belajar melupakan Nathan?

"Kita nggak ngapa-ngapain." jawab Callista cepat.

"Menurut kamu Papa bisa percaya begitu saja, Call? Kalian berdua berada dalam satu ruangan selama semalam saja sudah menimbulkan kecurigaan. Apalagi ini empat hari. Kalian juga tidur satu ranjang. Apa ada alasan yang membuat Papa bisa percaya dengan kata-kata kamu?" Anggara bertanya semakin memojokkan Callista.

NATHANIEL ALVAROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang