39

13.2K 949 317
                                    

Malam hari, Nathan berada dalam satu mobil dengan Leo menuju rumah GrandPa-nya. Mereka diundang untuk makan malam disana.

"Abis ini lo ada jadwal?" Nathan membuka percakapan.

Lelaki yang sedang bermain ponsel itu menoleh, "nope. Do you want to take me somewhere??"

"Hm, nggak boleh nolak sih sebenernya. Lo harus banget, wajib, nemenin gue. Soalnya gue mau mabok, takut yang nggak-nggak." jelas Nathan.

Leo tertawa ringan, "wohoo... apa kau punya masalah dengan kekasihmu??"

Nathan berdecak. Ia tak menjawab dan hanya fokus mengendarai mobilnya.

Lelaki yang bertanya tadi geleng-geleng, "I know I'm right." jawabnya sendiri.

Setengah jam kemudian mereka sampai pada kediaman Jackson.

Kedua lelaki dengan style berbeda itu memasuki rumah. Bau masakan langsung tercium saat mereka tiba di meja makan pertanda makanan sudah siap.

"My boys, come on!"

Makan malam sederhana untuk kedua cucu dan kakek nenek mereka yang katanya rindu. Meskipun jarak dari tempat tinggal mereka dengan rumah Jackson tidak terlalu jauh, namun keduanya sangat jarang mampir.

Sekali mampir, maka Lily akan memarahi mereka. Menganggap mereka cucu durhaka karena melupakan ia yang sudah tua itu.
***

Pukul 11 PM, keduanya meninggalkan rumah besar itu. Butuh usaha yang keras untuk beralasan agar bisa pulang. Karena Lily, memaksa mereka untuk menginap.

"Annera bar and grill?" tanya Leo. Kini gantian, ia yang mengemudi sekarang.

"Hm." jawab singkat Nathan.

Leo sejak tadi sadar kalau adik sepupunya itu sedang dalam masalah. Dan satu-satunya yang bisa menjadi masalah bagi Nathan adalah kekasihnya.

Namun dirinya tidak mau bertanya. Biar lelaki itu cerita sendiri nanti saat mabok.

Nathan, lelaki itu kini sedang memandangi ponselnya penuh harap. Akhir-akhir ini, hubungannya dengan Callista menjadi renggang.

Semua disebabkan oleh Callista yang fokus dengan study-nya. Harusnya ia pun sama, fokus dengan study-nya. Namun yang namanya Nathan, ia selalu punya waktu untuk Callista.

Ingin rasanya Nathan egois, meminta seluruh waktu Callista untuknya. Tapi kalau dipikir, semakin cepat mereka lulus, semakin pendek pula durasi waktu LDR mereka.

Dan dalam rencana Nathan, S2-nya ia akan mengikuti kemana-pun Callista mengambil tempat study-nya.

Sampai pada tempat yang dimaksud, segera saja keduanya masuk.

Nathan memilih duduk tak jauh dari kolam. Dalam jarak pandangnya, ia bisa melihat banyak orang yang memadu kasih didalam kolam sana.

Lagi-lagi ia teringat dengan Callista. Dulu ia pernah berciuman mesra dengan Callista seperti sepasang kekasih yang berada di pojok kolam sana.

Ia juga pernah tertawa bersama Callista seperti perempuan dan lelaki yang masing-masing tangannya memegang gelas berisi cairan warna kuning cerah itu.

Tanpa sadar, ia sudah menghabiskan beberapa gelas dimejanya sambil membayangkan Callista ada disini.

Ia mengerang frustasi saat music semakin keras dimainkan. Rasa frustasinya ia limpahkan dengan minum minuman haram itu.

Tak jauh darinya, Leo mengawasi dengan seorang wanita bayaran di pangkuannya.

Awalnya Leo masih diam sambil menikmati servis dari wanita itu. Tapi saat melihat Nathan bangkit dan berjalan sempoyongan menghampiri seorang perempuan berbikini yang sedang duduk di pinggir kolam, ia pun segera menyusul.

Leo menahan Nathan yang hendak bergabung kedalam kolam, mengikuti perempuan tadi.

"Gue mau ke Callista! Enyah lo!" Umpat Nathan murka. Dipandangannya, semua wanita disini adalah Callista.

"You're drunk, dude! Let's go home." Leo menarik paksa tangan Nathan atau kalau tidak, lelaki itu akan semakin brutal.

Di dalam mobil, Nathan terus meracau. Tidak pernah absen ia menyebut nama Callista.

Beberapa dari ucapan Nathan ada yang Leo pahami. Dan sekarang ia paham masalah Nathan.
***

Leo menyeret paksa tubuh Nathan untuk masuk ke kamar. Setelah memastikan Nathan aman, ia pun keluar dan beristirahat ke kamarnya.

Nathan, lelaki itu tepar setelah tenaganya terkuras habis untuk berteriak asal sewaktu mabok tadi. Badannya terkulai lemas diatas kasur dengan pikiran yang masih memikirkan Callista.

Keesokan harinya, Nathan terbangun dengan kepala yang berdenyut nyeri. Matanya buram.

Tangan kekarnya menjambak rambutnya sendiri. Berharap usaha itu akan mengurangi rasa pusing yang ia alami.

Nathan membuang napas kasar. Ia bangkit dan berjalan keluar kamar. Perutnya lapar.

Kejadian semalam, sepenuhnya Nathan lupa. Ingatannya hanya sampai ia duduk di sebuah bar dan menikmati minuman haram itu. Selebihnya, ia akan bertanya pada Leo nanti.

Semoga saja ia tak berlaku aneh semalam. Tapi dirinya juga yakin kalau Leo tak akan membiarkannya begitu saja.

Nathan menikmati rotinya dengan satu tangan memegang ponsel. Harapannya selalu sama, mendapat kabar dari Callista.

Namun lagi-lagi nihil. Callista tak mengiriminya sebuah chat dari kemarin malam. Chat mereka berakhir dengan Callista yang pamit belajar, setelah itu chat Nathan tak dibaca lagi.

"Lo kemana bangsat?!" geram Nathan.

Nathan tak tinggal diam. Ia menghubungi Saga.

"Cewek gue sibuk banget, Ga?" tanyanya to the point.

"Duh, Nath. Gue sendiri sibuk akhir-akhir ini. Cewek lo keliatannya juga sibuk. Jarang banget soalnya gue liat dia keluar appart."

Nathan menghela napas berat. "Yaudah, thanks. Kalo ada apa-apa sama cewek gue, jangan lupa langsung kabarin."

"Kaya biasa, tenang aja man."

"Ok."

Nathan meletakkan ponselnya ke meja secara kasar, terkesan membanting. Ia memegang kepalanya dengan siku bertumpu di meja.

Tak lama, suara notifikasi dari ponselnya terdengar. Buru-buru Nathan mengecek.

"Wha the--" Alis Nathan menukik tajam. Bahkan ia tak kuasa akan mengumpat.

Nathan menelan ludah dengan kesusahan. Ia memejamkan matanya berkali-kali untuk memastikan apa yang ia lihat benar adanya.

Setelah berperang batin, akhirnya dirinya mengakui kalau foto yang dikirim oleh anonymous itu benar-benar Callista.

Callista dengan seorang lelaki yang tak ia ketahui rupanya karena posisi membelakangi kamera.

Callista dengan tawa lepasnya saat lelaki tadi mencium mesra lehernya. Bahkan tangan yang sering ia gandeng itu terlihat meremas rambut sang lelaki.

Hati Nathan memanas hebat. Ia seperti tak asing dengan postur lelaki itu. Tapi ia lupa.

"Demi Tuhan---" Nathan menggeleng. Ia melempar ponselnya kesembarang arah.

Lagi-lagi lelaki itu menjambak rambutnya sendiri.

"AAARRGHHH!!! GUE BENCI SAMA LO CALLISTA!!!" Teriaknya setelah itu terdengar bunyi pecahan gelas karena ia banting.

"Berani lo main belakang? Hah?!" tanyanya entah kepada siapa.

"Gue bunuh lo anjing!" Nathan bangkit. Ia mengambil kembali ponselnya yang layarnya sudah retak.

Nathan mendial nomor Callista. Berkali-kali panggilan tak terjawab.

Untuk yang ke 23 kalinya, akhirnya Nathan menyerah. Ia tertawa sumbang menertawakan nasibnya kini.

"Fucking bitches!" umpatnya kemudian pergi keluar.
***

DORR

NATHANIEL ALVAROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang