46

10.6K 817 276
                                    

Beberapa tahun kemudian

Perempuan dewasa berusia 26 tahun yang kini sedang berbahagia setelah melakukan pemotongan pita sebagai tanda peresmian cabang ke-8 gerai parfumnya, tersenyum bahagia menghadap kamera yang memotretnya.

Usaha yang ia buat sendiri tanpa campur tangan orang lain kini telah membuahkan hasil seperti yang ia bayangkan.

Terhitung cukup pesat perkembangan usahanya, jika dihitung baru 3 tahun ia pulang ke Indonesia. Setelah menempuh pendidikan yang cukup dinegri orang, akhirnya Callista pulang ke Indonesia setelah berbekal banyak ilmu dan pengalaman untuk membuka usaha baru.

"Kakak abis ini langsung balik ke Jakarta apa mau jalan-jalan dulu?"

Callista menatap perempuan ber-dress maroon dengan anggun itu. Penampilannya sangat jauh dari terakhir ia lihat dulu.

"Jalan-jalan dulu enak kali ya? Mubadzir juga udah di lombok tapi ngga ke pantai." Ucapnya.

Perempuan tadi lantas berbinar, "ikut!!! Boleh kan??"

Callista tertawa, masih sama sifatnya dengan yang dulu. "Boleh."

***

"Call, Papa lo siang tadi telfon ngabarin kalo malem ini beliau flight kesini."

Gerakan tangan Callista yang sedang melepas anting pun terhenti, ia menatap Nancy dari pantulan kaca rias hotelnya. "Sendiri apa sama Mama?"

"Sama Tante. Tapi kayanya nggak cuma mereka berdua deh, si Alga ngikut juga kayanya."

"Biarin aja sih. Nggak ada urusannya juga sama gue."

"Jangan gitu lah, gitu-gitu juga dia calon-"

"Eit! Nggak usah dibahas! Nggak suka gue dengernya."

Nancy tertawa melihat raut kesal Callista. "Terima aja kali,"

Dengusan kesal dari Callista menandakan ia tidak akan melakukan apa yang Nancy katakan.

"Heran banget gue sama Papa. Bisa-bisanya jodohin anaknya sama cowok modelan gitu."

"Kaya gitu gimana? Tampan dan mapan gitu lo masih nggak suka?" Nancy heran, bagaimana pandangan Callista terhadap orang diluar sana.

"Udah lah nggak usah dibahas." Perempuan dewasa itu kemudian berdiri dan pamit menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya.

Tak lama dari sepeninggalan Callista, Shiren menghampiri Nancy yang awalnya sibuk bertukar pesan dengan kekasihnya yang berada di Thailand.

"Kak, Kak Call dimana?" tanya Shiren saat tak melihat raga Callista dikamarnya.

Nancy menunjuk kamar mandi dengan dagunya. "Mandi dia."

Shiren mengangguk, kemudian ia bergabung duduk bersebelahan dengan Nancy di atas kasur. "Tapi Kak Call udah tau kan, kalo Mama sama Papa mau nyusul?"

"Udah Shireeeen..." Nancy mencubit pipi tirus itu. Itu bukan karena gemas, tapi ia salting mendapat kata-kata manis dari kekasihnya.

Shiren merajuk, ia paling tidak suka pipinya dicubit. Dan Nancy paling suka membuat gadis itu merajuk.

"Ngeselin banget! Kok bisa Kak Call betah sama tukang cubit kaya Kakak?!" Shiren memegang pipinya sebagai perlindungan.

Kali ini Nancy merasa gemas untuk nyata. Ia tertawa melihat Shiren yang menjauh dari tempat duduknya.

"Ya gimana? Udah bareng-bareng dari pas kuliah." Jawabnya mengingat kenangan beberapa tahun lalu saat ia bertemu untuk pertamakali dengan Callista.

NATHANIEL ALVAROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang