Prolog

20K 1K 7
                                    

Reuni hari ini adalah reuni akbar pertama yang diadakan oleh angkatanku setelah bertahun-tahun lulus sarjana dan menambah gelar S.E. di belakang nama. Semua orang terlihat berbahagia sepanjang acara. Saling bercengkrama dan bernostalgia masa-masa kuliah dulu. Beberapa ada yang membicarakan pekerjaan. Meskipun diselipi keluhan tentang beratnya pekerjaan dan hidup yang mereka jalani, ada kebanggaan yang terselip di setiap kata yang terucap. Dan aku pun mengikuti alur pembicaraan mereka. Menanggapi segala pertanyaan. Apapun itu topiknya.

Obrolan masih berjalan normal sampai kondisiku—yang menurut mereka mengkhawatirkan—mulai mencuri perhatian.

Pikiranku dipenuhi komentar yang mereka layangkan setelah mengetahui profesi dan status asmaraku, masih kuat kerja di audit? Tahan banting banget! Atau mau sampai kapan kerja jadi auditor, Nye? Work life balance-nya nggak ada. Buktinya lo sampai nggak punya pacar padahal sudah masuk kepala tiga atau makanya dulu pas gue selesai internship di sana, gue nggak mau lanjut lagi karena takut terlalu sibuk kerja terus asyik sendiri dan lupa kalau harus cari pasangan.

Ada juga yang berusaha memberikan solusi dengan mengatakan gue punya kenalan yang masih jomblo juga dan lagi cari istri. Mau gue kenalin nggak, Nye? atau mau sama abang gue, Nye? Nanti bisa gue kenalin kalau lo berminat. Kasian dia masih sendirian padahal sudah mapan.

"Nggak usah ikut campur begitu, lah. Kalian nggak lihat kalau Anye nggak nyaman?" cetus salah satu temanku yang lebih banyak diam mendengarkan. Aku memandang temanku itu penuh haru, tidak menyangka dia menyadari keenggananku untuk menanggapi mereka. "Gue sama Anye mau ambil minum dulu."

Tanpa menunggu persetujuan dari yang lainnya, dia menarik sikuku dan berjalan menuju meja minuman yang lumayan sepi di pojokan.

Reuni kali ini diadakan di salah satu restoran ternama dekat Ancol. Dengan pemandangan pelabuhan dan laut yang mampu memanjakan mata. Aku agak menyesali keputusan memakai off shoulder blouse dan pleated skirt di bawah lutut meski sudah mengetahui tema reuni ini adalah outdoor party. Angin laut yang berembus malam ini menusuk hingga tulang.

"Bukan gue doang ternyata yang kupingnya panas," kataku, menyelipkan candaan saat kami meraih segelas minuman dingin. Aku mengingat dia sebagai teman sekelasku di beberapa mata kuliah wajib beberapa tahun yang lalu. Sandra. "Thanks, by the way."

Teman kuliahku itu mengibaskan tangannya. "Don't mention it. Gue aja yang nggak dicecar sudah males banget dengarnya apalagi lo. Gue makin geregetan pas lihat lo malah ladenin mereka sambil cengar-cengir padahal hati sudah kepanasan."

Sontak, aku tergelak. Tidak berniat mengoreksi ucapannya. "Sering berhadapan sama situasi sejenis, San?"

"Sebelum gue menikah, gue sering ada di posisi lo. Semua orang entah kenapa punya tenaga lebih buat ikut campur urusan orang lain. Kurang lebih komentarnya sama. Apalagi biasanya keluarga sendiri paling ribut," tukas Sandra. "Untungnya, gue bisa counter attack orang-orang yang sibuk recoki hidup gue."

Dari wajahnya yang begitu serius menjelaskan dan nada penuh percaya diri, aku yakin kalau dia benar-benar menyanggah dengan tegas perkataan orang-orang yang berhasil mengusiknya.

"Consider this as a tips, kalau ada orang-orang sejenis mereka mulai ributin banyak hal karena lo masih melajang, lo tinggal jelasin aja tujuan hidup dan target-target yang mau lo capai ke depannya, termasuk perihal pasangan. Jelasin juga tentang prioritas lo sekarang supaya mereka sedikit tenang. Rata-rata orang yang sibuk urusin hidup kita, terutama keluarga, mikirnya kita nggak punya planning dan target yang jelas ke depannya perihal kehidupan rumah tangga. Takut kita terlena hidup sendiri terbawa arus jadinya mereka merasa berhak buat ikut campur. Jadi, lo harus bisa meyakinkan mereka kalau lo punya tujuan hidup yang seimbang—nggak cuma fokus di karier."

"Tujuan hidup, ya," gumamku. Aku mengusap permukaan atas gelasku sebelum mengulas senyum. Aku memandang kondisi sekitar. Semua orang masih asyik berbincang diiringi canda tawa. "Thanks for the tips. Kapan-kapan bakal gue coba. Tingkat keberhasilannya berapa persen?"

Sandra terkikik pelan. "Sekitar delapan puluh persen. Cukup ampuh, kok."

Aku menganggukkan kepala. "Menarik juga caranya."

"Beberapa pasti ada yang masih nyinyir, tapi seenggaknya lo nggak cuma nyengir doang. Kalau cara itu masih belum mempan, tinggal balik badan dan say good bye ke orang-orang itu," sarannya lagi. "Don't mind them."

"I don't mind them at all. Even in the slightest."

Actually, I do mind.

Bohong kalau aku mengatakan tidak terpengaruh ucapan mereka. Buktinya setelah menghadiri reuni itu, aku terjaga semalaman penuh memikirkan segala ucapan teman-teman kuliahku dengan bayangan hidup yang kujalani beberapa tahun terakhir masuk silih berganti ke dalam pikiran.

I wish it was that easy.

Kalimat itu sudah berada di ujung lidah ketika mendengar semua orang mulai sibuk mengomentari hidupku. Bahkan, hingga malamnya ketika aku berada di atas kasur sambil menatap kosong pada langit-langit kamarku, kalimat tersebut terus-terusan berputar di kepalaku. I wish my life was better. Sayangnya, sejak aku merasa tidak nyaman dengan perbincangan teman-temanku yang berpusat pada diriku sampai aku kembali diselimuti keheningan di kamar yang gelap, kalimat itu tidak bisa kusuarakan. Seolah ada yang menahanku untuk berbicara hingga kata-kata itu berakhir tersangkut di tenggorokan.

If everything was that easy,maybe I would have a better life. 

Long Overdue [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang