Ch. 23: Sweep everything under the rug

4.7K 586 50
                                    

Ketika Papa pertama kali didiagnosa memiliki penyakit jantung, hal pertama yang Papa minta dariku adalah berjanji untuk menemani setiap waktu yang akan Mama habiskan di dunia tanpa ada kehadiran Papa di sisinya. Papa sudah menduga Mama tidak akan menerima kepergian Papa begitu mudah dan aku—sebagai anak pertama—harus senantiasa menjaga Mama hingga Mama pulih.

Dengan berat hati, aku mengatakan, iya, nanti aku jaga Mama. Hatiku berat bukan karena enggan menjaga Mama seperti apa yang Papa titipkan, tetapi karena bayangan Papa pergi meninggalkan kami—sejak mengetahui Papa sakit, sudah terlalu sering aku membayangkan kemungkinan terburuk dan setiap waktu yang berlalu berhasil membawa resah.

Hingga hari itu akhirnya datang.

Aku sadar duniaku akan berubah. Bukan aku yang akan mencari perlindungan melainkan orang lain yang mencariku untuk perlindungan. Beberapa hari setelah Papa dikebumikan, Aksa kembali ke Australia—melanjutkan studinya dan Jojo, meskipun muram di wajahnya terus bertahan, akhirnya dia berangkat sekolah setiap paginya—melanjutkan aktivitas hariannya seperti semula.

Mama tidak begitu. Mama berubah. Kehidupan Mama berhenti berputar sejak Papa berhenti bernapas. Mama tidak pergi ke kampus untuk mengajar padahal pekerjaan itu adalah sesuatu yang sangat dia sukai. Mama tidak membuatkan kami sarapan, selalu memintaku untuk membeli nasi uduk di depan komplek atau menambah uang saku untuk Jojo kalau aku terlalu malas untuk memasak—padahal sarapan itu menjadi momen spesial bagi keluarga kami untuk berkumpul dan bercerita banyak hal dan Mama selalu memasak beberapa lauk agar kami bisa memulai hari dengan perut yang terisi. Meja makan menjadi saksi bisu banyaknya cerita hidup dan momen manis yang tertuang.

Tiada hari yang berlalu tanpa mendengar Mama menangis. Setiap aku masuk ke kamar Mama, matanya selalu sembab dan basah oleh air mata.

Aku sedih. Hatiku juga perih—terasa seperti dihujam oleh ribuan jarum, tetapi air mata tidak akan membantuku kala itu. Maka, aku pun mengambil peran itu. Peran sebagai pengganti Papa menjadi kepala keluarga.

Aku—seorang anak yang masih berduka dan ditinggalkan dengan segenap tanggung jawab yang mendadak membelit—berusaha mengembalikan keluargaku dan menguatkan orang-orang di dalamnya.

"Mama makan dulu, ya. Kakak tadi pagi bikin sup ayam lobak karena Dedek lagi nggak enak badan." Aku menaruh nampan berisi semangkuk sup dan sepiring nasi di atas tempat tidur Mama. Dengan helaan napas berat, aku membantu Mama bangkit dari posisi tidurnya. "Mama makan terus mandi. Hari ini mau pergi keluar? Aku bisa luangin waktu istirahat makan siangku nanti kalau Mama mau cari udara segar."

Terlalu khawatir dengan kondisi Mama yang tidak stabil membawaku pada keputusan untuk menghabiskan annual leave-ku tahun ini. Setelah cutiku habis kemarin, aku pun meminta izin pada atasanku untuk bekerja dari rumah. Dengan alasan, aku masih perlu waktu untuk menemani ibuku yang sedang berduka.

"Kakak sudah makan?" tanya Mama dengan suara yang serak dan wajah yang kuyu di sela-sela aku menyuapinya. Bukannya aku tidak sadar Mama mengabaikan ajakanku untuk keluar. Beberapa hari terakhir, aku memang selalu mencari cara untuk membuat Mama keluar dari kamar dan melupakan kesedihan yang melanda. Sayangnya, usahaku tidak berbuah hasil hingga hari ini. "Kakak makan juga."

"Sudah. Kakak makan bareng Jojo tadi pagi," sahutku.

Mama menghabiskan sarapannya dalam diam. Tubuh lemahnya hanya bergerak untuk membuka mulut, mengunyah, dan menelan makanan. Pandangan Mama yang kosong selalu tertuju pada sisi kasurnya yang masih rapi—seolah dijaga untuk tetap seperti itu sejak Papa pergi.

Begitu makanan Mama habis, aku mengulang pertanyaanku, "Mama mau keluar?" tanyaku, yang hanya dibalas dengan keheningan. Aku menunggu hingga beberapa detik berlalu dan Mama memberikan gelengan kepala pelan. "Keluar kamar, yuk, Ma? Sudah nyaris dua minggu Mama di kamar aja. Jojo sedih lihat Mama begini, Aksa yang ada di Australia juga setiap hari telepon aku karena Mama nggak pernah angkat teleponnya, aku... aku juga nggak bisa lihat Mama terus begini."

Long Overdue [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang