Ch. 14: Reduce to tears

5.3K 714 31
                                    

Mumpung lagi ada waktu kosong dan cuaca lagi mendukung untuk nulis chapter ini, alias gloomy abis, makanya bisa update cepet hehe. Happy reading all! ʚ(。˃ ᵕ ˂ )ɞ

*


Belum genap satu tahun bekerja sebagai auditor—di tengah peak season—aku pernah menangis di depan Papa, tidak sanggup bekerja dengan pressure yang cukup tinggi dan pace kerja yang sangat cepat. Ketika sampai di rumah jam dua belas malam—pulang tercepat sejak beberapa hari sebelumnya lembur hingga jam tiga pagi—lalu bertemu dengan Papa yang terbangun dan sedang mengambil minum di dapur, air mataku mengalir begitu saja.

Aku lelah. Timku tidak suportif dan solutif. Suasana kerja tidak kondusif, seringnya diisi dengan ketegangan. Seniorku tidak memberikan bimbingan dengan benar sehingga aku—seorang fresh graduate yang baru saja menapakkan kaki di dunia kerja—harus mencari tahu segalanya sendiri. Manajerku juga terkenal strict, moody, dan sering menggagalkan promosi anak buahnya jika performanya dinilai kurang memuaskan. Semua teman satu timku sering membicarakan manajerku—hal-hal buruk tentangnya yang membuatku semakin kecil dan takut melakukan kesalahan.

Meskipun aku tidak menyuarakan pemikiranku, Papa seolah mengerti apa yang kurasakan. Tanpa berbicara banyak, Papa menaruh gelas kosongnya di atas meja makan dan membawaku ke pelukannya.

"Nggak apa-apa, Kak. Pasti capek, ya, baru pertama kali kerja terus harus lembur melulu," ujar Papa menenangkan sambil menepuk punggungku pelan. "Sudah lama nggak ngobrol sama Papa, kan? Ada yang mau Kakak ceritain?"

Aku menggeleng pelan. Masih dengan air mata yang tidak kunjung berhenti dan suara yang serak, aku berkata, "Aku nggak paham. Nggak tahu harus gimana."

"Nggak paham apanya? Kerjanya?"

Isak tangisku terdengar semakin kencang seiring dengan meeting beberapa jam yang lalu kembali terlintas di pikiranku. Begitu juga dengan perkataan yang berhasil meluruhkan pertahananku—yang tanpa henti terputar di benakku dan refleks membuatku merutuki diriku sendiri.

"Apa yang lo kerjain sampai gue tanya aja lo nggak bisa jawab? Lo ngerti nggak, sih, sama apa yang harus lo kerjain? Atau lo cuma asal ikutin working paper tahun lalu aja tanpa lo pahami prosedur ini buat apa?" bentak manajerku di tengah meeting untuk review working paper. "Kalau mau diskusi seharusnya dari kemarin-kemarin, bukan sekarang pas gue lagi review. Ini seniornya juga pada ngapain, sih? Bukannya dibimbing juniornya yang bener."

"Aku nggak ngerti," isakku sambil meremas baju yang dipakai Papa.

"Gue tanya prosedur ini untuk apa lo nggak bisa jawab. Gue tanya angka sudah tied up atau belum sama TB, lo juga nggak ngerti. Kok bisa-bisanya nanya itu caranya gimana? Lo kerja asal-asalan, ya?" maki manajerku tanpa ampun.

Di antara banyaknya emosi yang kurasakan saat itu, perasaan malu menduduki peringkat pertama karena manajerku mengatakan itu di depan seluruh timku yang terdiri lebih dari lima orang. Ucapannya itu tepat sasaran mengkritisi ketidakmampuanku untuk memahami pekerjaanku. Perasaan tidak berdaya sekaligus kebingungan adalah emosi selanjutnya yang terus bertahan di benakku—bahkan hingga aku menginjakkan kaki di rumah, semua rasa itu masih bersarang di hatiku, seolah enggan untuk pergi meskipun berkali-kali aku mengatakan pada diri sendiri bahwa semuanya akan berlalu dan esok hari akan jauh lebih baik dari hari ini.

Namun, memikirkan hari esok rupanya membawa ketakutan lain yang tidak mampu kugambarkan. Membayangkan akan melewati rutinitas yang sama, dengan orang-orang dan pekerjaan yang sama membuat perutku mual. Aku tidak yakin besok akan berlalu dengan baik mengingat hari ini aku mengacau begitu besarnya.

Long Overdue [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang