Jangan lupa vote dan kasih komentar yang banyak untuk chapter ini yaaaa ଘ(੭ˊᵕˋ)੭* ੈ✩‧₊˚
*
Sebelumnya aku tidak pernah merasa segugup ini pergi ke kantor. Berbagai macam hal-seburuk apapun hari-hari yang kulalui, sebanyak apapun makian dan omelan yang kudapatkan, aku tidak pernah merasa setakut ini menginjakkan kaki di kantor. Terakhir kali aku berada di gedung ini, aku menerima omelan tanpa henti dari Bu Mita karena kesalahan fatalku. Di hari yang sama pun, aku menerima chat panjang lebar dari klien yang mengomeliku karena hal yang sama. Hari itu sukses menjelma menjadi mimpi burukku sampai aku harus mengambil izin seminggu penuh untuk masuk ke kantor.
Aku tidak tahu apa yang Alex katakan kepada Bu Mita, tetapi selama seminggu aku tidak masuk kantor—di tengah deadline mencekik—tidak ada satu pun chat yang kuterima dari Bu Mita. Padahal dalam kondisi normal, setiap dia melihat status Teams-ku away, dia tidak akan segan untuk membombardirku dengan berbagai pesan melalui WhatsApp.
"Tunggu sebentar," celetukku ketika Alex hendak mematikan mesin mobilnya.
Tanganku berada di atas dada, merasakan jantungku yang berdetak dengan kencang. Aku tahu tidak ada yang perlu kutakuti. Bagaimanapun keputusan akhir mengenai masalah yang aku timbulkan itu, pada akhirnya aku akan keluar dari kantor ini. Aku bahkan sudah mengirimkan persyaratan untuk resign ke HRD dan mengatakan akan memberikan approval dari manajerku hari ini setelah aku berbicara dengan mereka. Hal itu yang mendorongku untuk masuk terlepas dari kesiapan diri yang masih berada di titik nol.
Aku ingin menyudahi semua ini.
"Maaf, ya," kataku sambil menggigit bibir bawahku.
Aku sudah menyiapkan diriku sedemikian rupa sebelum berangkat. Aku meditasi selama lima belas menit, sarapan dengan cukup, dan meminta Mama mendoakanku agar hari ini berjalan dengan lancar. Namun, semua itu rasanya sia-sia. Buktinya, aku masih berada di dalam mobil dengan Alex yang menatapku lekat. Dengan jantung yang berdetak tidak karuan dan keringat dingin yang mengalir di pelipisku. Belum lagi mual yang tiba-tiba datang dan membuat mulutku terasa pahit.
"Nggak apa-apa. Aku bisa tunggu selama apapun itu sampai kamu siap," ujar Alex lembut. Dia menarik tisu kemudian menyeka keringat yang mengalir di dahiku. "Kamu tenangin diri dulu. Kalau misalnya kamu belum siap buat masuk kantor hari ini, kamu boleh izin ke—"
"Aku siap." Tanpa sadar, aku menyela. Di dalam hati, aku benar-benar ingin merutuki kebodohanku sendiri. Dari segi mana aku terlihat siap? Dari pandangan Alex yang tertuju padaku pun, aku tahu Alex tidak yakin dengan perkataanku. "Aku harus ke kantor hari ini," lanjutku. "Ada hal penting yang harus aku lakukan hari ini."
Alex menyodorkan sebotol air minum padaku. "Ada hubungannya dengan ucapanmu minggu lalu? Kamu bilang ada yang mau kamu omongin tapi nunggu hari Senin," sahutnya yang kujawab dengan anggukan karena sibuk menandaskan isi botol minum untuk meredakan kegugupanku. "Kamu tahu kan, dalam kasusmu sekarang ini, memaksakan diri bisa jadi bumerang buat kamu? Kamu pasti sudah konsultasi tentang ini dengan Mbak Emery, kan?"
"Aku justru nggak bisa kalau menunda ini lebih lama, Lex," ungkapku. Resah yang melingkupiku perlahan mulai menghilang. Membayangkan hari-hari di mana aku akan terlepas dari segala kesibukan yang menyesakkan ini membuat harapan tumbuh di hatiku. "Mbak Emery bilang aku boleh melakukan segala hal selama aku nyaman. Dia nggak kasih timeline tertentu karena takut itu menambah bebanku tapi dia percaya aku masih cukup sehat untuk memutuskan suatu hal. Kamu juga percaya kan, Lex? Percaya sama aku, kan?"
"Anyelir... aku percaya." Alex mengembuskan napas lalu meraih tanganku. Dia tidak pernah tahu setiap dia mencium punggung tanganku atau jari-jariku, napasku selalu terenggut dan perasaanku padanya tumbuh semakin dalam. Seiring dengan rasa nyaman dan tentram yang mengikuti setiap berada di sisinya. "Aku cuma khawatir kamu terlalu memaksakan diri. Aku nggak bisa lihat kamu kayak begitu lagi. Aku tahu rasanya dan aku nggak mau kamu tenggelam di dalam hal yang sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Overdue [COMPLETED]
Literatura FemininaSelama ini sebuah janji di masa lalu telah mengikat Anye hingga sulit baginya melangkah menuju jalan yang dia inginkan. Di tengah kebimbangan dan kegamangan yang mengisi hatinya, Alex hadir menawarkan sesuatu yang telah hilang di hidupnya. Setelah...