Ch. 33: Birds of a feather

5.1K 621 76
                                    

Seperti biasa, jangan lupa vote dan komentarnya, oke? ଘ(੭ˊᵕˋ)੭* ੈ✩‧₊˚

*


"Aku sedih banget. Bukan cuma aku kan, yang sesedih ini?" Siska mengeluh dengan raut wajah yang tertekuk. Dia menaruh sendoknya di atas piring sedangkan matanya sudah berkaca-kaca. "Kak Anye beneran mau resign? Hari ini beneran last day? Aku kira waktu Kak Anye lagi cari-cari kerjaan baru itu cuma bercanda aja. Sampai kemarin pun, aku masih kira Kak Anye bercanda waktu bilang mau resign."

Aku memindahkan lemon tea di dalam pitcher ke gelas kosong di hadapan Siska sambil mengulum senyum. "Gue nggak mungkin bercanda tentang hal sepenting itu, Sis," ujarku. Suasana makan malam ini sangat sendu. Biasanya semua orang akan bersemangat setiap mendapat traktiran makan malam gratis di restoran. Namun, hari ini sangat berbeda. "Kenapa makannya gak dilanjut, sih?" tanyaku geli.

"Sudah keburu nggak nafsu karena ngebayangin lo nggak akan ada di kantor lagi," sahut Tanya malas-malasan. Dia meraih lauk yang ada di tengah meja. Sendok yang ada di tangannya kembali ditaruh di atas piring. "Lo mau pindah ke mana, sih? Masih ada lowongan nggak di sana? Gue mau ikut pindah."

"Asal banget itu mulut!" protesku, memelototinya. Aku menoleh pada Alex yang duduk di sampingku. Berbeda dengan yang lainnya, dia menyantap makan malam dengan tenang meskipun sesekali dia mendengus atau menahan senyum begitu mendengar rengekan rekan satu tim kami. "Lupa kalau masih ada bos lo di sini?"

"Pak Alex kenapa diam aja? Padahal saya berharap Bapak bisa nahan Anye supaya nggak jadi resign, lho!" ujar Tanya, masih merengut. "Bapak bakal kehilangan incharge yang paling... wow! yang pernah ada. Sebulan lagi mau quarter review tahu, Pak! Kok Bapak tenang-tenang aja, sih? Emangnya sudah dapat pengganti Anye—"

"Sudah," sela Alex. Dia menyandarkan tubuh pada kursi. Di bawah meja, telapak tangannya tiba-tiba sudah berada di atas telapak tanganku dan memberikan remasan pelan. Untungnya, posisi duduk kami berhadapan dengan Tanya, Siska, dan Brian sehingga tiga orang itu tidak dapat melihat apa yang Alex lakukan di bawah sana. Berbeda dengan Mas Fauzi yang sudah mengerling jahil dan melemparkan seringai karena kursinya yang ada di samping Alex. "Kamu yang gantiin Anyelir. Kamu yang jadi incharge mulai dari quarter review bulan depan. Kamu sudah bertahun-tahun pegang klien ini dengan Anyelir, kan?"

"Nye..." Tanya menoleh padaku dengan raut wajah yang pias.

"Lo pasti bisa, Nya." Aku menyemangatinya.

"Pasti bisa." Brian yang duduk di sampingnya menepuk pundaknya beberapa kali. "Kapan lagi lo dapat exposure sebesar ini?"

"Pak, maaf... bukannya saya menolak atau gimana..." Tanya berbicara dengan gugup. Matanya bergerak ke segala arah sementara kepanikan sudah tergambar jelas di matanya. "Mas Fauzi kebetulan juga sudah pegang klien ini lumayan lama dan levelnya juga lebih tinggi daripada saya. Kenapa bukan Mas Fauzi aja yang gantiin Anye, Pak?"

"Nggak bisa." Alex menyahut setelah meneguk teh tawar hangatnya. "Klien dia masih banyak yang belum rilis report-nya. Saya sudah mempertimbangkan banyak hal. Daripada saya harus rekrut anak baru untuk masuk ke tim kita dan harus mengulang understanding dari awal, lebih baik saya kasih tanggung jawab itu ke kamu."

Tanya mengangguk dengan bahu yang melemas. Begitu mengetahui aku akan resign beberapa minggu yang lalu, Tanya langsung membujukku untuk tetap bertahan di kantor ini. Dia bilang, seminggu tanpa kehadiranku sudah cukup menyiksa karena Alex melemparkan semua tanggung jawabku padanya sementara Mas Fauzi sibuk mengurus kliennya yang lain. Di depanku, dia bersumpah akan melakukan segalanya selama aku masih tetap bekerja dan tidak meninggalkannya berhadapan dengan Alex sendirian.

Long Overdue [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang