Ch. 29: A fork in the road

4.8K 573 20
                                    

Hidupku penuh dengan pengandaian sejak Papa pergi. Hingga hal-hal paling kecil seperti melihat Tanya atau Brian merencanakan libur saat low season ke luar negeri—minimal ke Thailand atau Singapura—atau mendengarkan Siska yang akhir-akhir ini sibuk membicarakan konser-konser artis yang ingin dia datangi dan dia dapatkan tiketnya—setahuku sudah ada tiga jadwal konsernya di beberapa bulan mendatang, berhasil menimbulkan pengandaian dan angan-angan karena hidupku tidak semudah mereka yang bekerja hanya untuk diri mereka sendiri.

Setiap tahunnya, Tanya pasti tidak pernah absen menanyakan rencana liburan dan cuti panjangku. Begitu mengetahui aku menghabiskannya hanya di rumah atau berlibur paling jauh ke Bandung, Tanya kontan mengeluarkan protes karena aku terlalu menjaga uangku dan seharusnya dengan gaji yang kudapatkan, aku bisa liburan ke luar negeri atau minimal ke Bali.

Aku tidak akan menyalahkan pemikiran Tanya. Lagi pula, semua orang memang melihat keadaanku hanya dari luarnya saja, kan? Dari luar sana, dari balik senyum dan tawa yang kubagi ke mereka setiap harinya, tidak ada yang tahu langkah berat yang setiap harinya kuambil dengan terseok-seok. Tidak ada yang tahu berapa banyak pesan yang kuberikan untuk diriku sendiri setiap paginya—setiap bangun dari tidur yang tidak pernah nyenyak—agar terus bertahan di kondisi ini. Karena, bagaimana pun juga, setiap masalah pasti akan ada jalan keluarnya.

Aku hanya perlu bertahan sedikit lagi.

Sedikit lagi.

Setelah bertahun-tahun menguatkan diri, aku sudah sampai di tujuan akhirku.

Mulanya, aku berpikir aku akan berada di tujuan akhir itu sendirian dengan luka yang menganga lebar, tanpa tahu cara untuk menyembuhkannya. Alih-alih berada di titik ini sendirian seperti bayanganku, ada seseorang yang kini berada di hadapanku—seseorang yang menarikku keluar dari lorong hitam tanpa ujung yang kian hari semakin menyesatkanku. Seseorang yang memeluk lukaku meski sekujur tubuhnya dipenuhi luka yang sama. Seseorang yang mendorongku untuk sembuh meski dirinya pun belum sembuh sepenuhnya dari masa lalu yang menghantuinya.

Seseorang yang kini mengelus pipiku dengan lembut lantas menarikku ke dalam pelukannya dan berbisik di telingaku, "Bertahan ya, Anyelir. Bertahan sedikit lagi. Jangan menyerah dulu sekarang."

Alex mungkin menyadari kepasrahanku hingga kalimat itu keluar dari bibirnya. Kalimat yang lagi-lagi memintaku untuk bertahan.

Aku tidak pernah merasa selemah ini sepanjang hidupku. Kali ini, aku sungguh tidak berdaya.

Kenyataan ini berhasil membuat dadaku semakin terhimpit dan kembali merasakan sesak. Karena, sejujurnya, aku memang sudah menyerah walaupun tidak mengatakannya secara terang-terangan. Aku tidak pernah berniat menutupi apapun dari Alex karena itu akan sia-sia. Berbeda dari keluargaku—yang mana aku bisa menutupi segala hal dari mereka—aku tidak pernah bisa melakukan hal yang sama pada Alex. He always knows.

Hal itu juga yang membuatku tidak pernah mengelak setiap dia berhasil meluruhkan pertahananku dan menampilkan sosok diriku yang sesungguhnya. Dia pasti selalu dengan mudahnya memahamiku—karena seperti apa yang pernah dia katakan, dia juga pernah berada di posisiku.

Alex mengelus punggungku. Dia menjatuhkan keningnya di bahuku sambil mengulang kalimat yang sama seolah kalimat itu tidak hanya ditujukan untukku—untuk menguatkanku—tetapi untuk menguatkan dirinya juga. Seketika tanganku yang melingkar di pinggangnya, memeluknya semakin erat. Berharap dengan cara ini, dia tahu aku juga sedang berusaha untuk menenangkannya. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa mendengar tarikan napas dalamnya sampai akhirnya dia meninggalkan kecupan singkat di sisi kepalaku dan menarik dirinya menjauh. "Makan dulu, ya? Tante bilang kamu belum makan seharian."

Asap yang masih mengepul dan wangi sup yang biasa menggugah selera makan, membawa tatapanku tertuju pada makanan yang ada di pangkuanku. Aku bergeming, menunggu nafsu makanku yang biasa datang setiap melihat makanan ini muncul. Namun, usai detik demi detik berlalu, masih tidak ada keinginan sedikit pun untuk menyentuhnya.

Long Overdue [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang