Siapa yang udah nggak sabar baca lanjutan cerita Alex dan Anyelir? Angkat tangan yang tinggi, yuk! ⋆˙⟡♡
Aku agak ngebut nulis bab ini seharian karena aku ya... kayak biasa ya karena mau akhir tahun, udah masuk peak season, jadinya aku harus lembur semingguan ini :")
Aku bener-bener menyalurkan semua imajinasi dan mencurahkan sepenuh hatiku di chapter ini supaya nggak hambar, semoga aja bisa sampai ke kalian.
Ini chapter baru yang baru banget kutulis, bukan chapter lama yang aku republish. Mulai sekarang, perjuangan menulis ini akan kembali dimulai. Outline sudah ada sampai ending, tapi kadang dituangkan ke tulisan agak sulit. Doakan semoga inspirasi akan terus berjalan dengan lancar :")
Anyway, happy reading! ʚɞ
*
"Anyelir." Aku mendongak. Alex sudah berdiri di samping mejaku dengan ponsel di tangan kirinya. Working space ini sepi karena semua orang sudah berhamburan turun ke bawah untuk membeli makan siang. Begitu pula dengan timku. "Nggak makan siang?"
"Nanti, Pak." Aku menunjuk layar laptopku. "Saya masih cek kerjaan Siska."
"Yang lain makan di bawah?" tanya Alex. Aku menahan napas ketika jarak kami menipis karena Alex merendahkan tubuhnya untuk melihat kertas kerja yang sedang kuperiksa. Dia mengangguk beberapa kali sebelum kembali berdiri tegak. "Ayo makan, Anyelir. Saya lapar."
Mataku mengerjap. "Gimana, Pak?"
"Temani saya makan di seberang. Saya lapar," pinta Alex. Dia memang tidak meminta dengan penuh permohonan seperti Brian. Namun, tanpa memohon pun, kurasa tidak sulit untuk memenuhi permintannya. This is the first time I like being around my boss. "Kamu belum makan, kan? You have to eat properly. Saya nggak mau kamu sakit asam lambung karena makan nggak teratur."
"Tapi yang lain-"
"Saya sudah tanya Fauzi dan dia bilang mereka nggak makan di sini." Alex menatapku lekat. "Ada makanan yang lagi pengen kamu makan? Kita bisa cari nanti di Pacific Place."
"Saya ikut Bapak aja," putusku lalu menutup laptop. Kami berjalan beriringan menuju lift yang akan membawa kami ke lantai satu. "Tumben nggak makan bareng manajer lain, Pak? Biasanya kalau mau makan di PP, selalu sama manajer-manajer."
Alex melirikku sekilas. "Mereka lagi males keluar. Banyak kerjaan."
"Bapak nggak sibuk?"
"Sibuk." Alex menyahuti dengan singkat. Kami bergeser sedikit agar orang-orang dapat keluar dari lift. Ketika lift sudah kosong, dia menjulurkan tangannya untuk menahan sensor pintu lift agar tidak tertutup kemudian menyuruhku masuk terlebih dahulu dengan lirikan matanya. "Saya juga sibuk, tapi saya berusaha untuk disiplin dengan jam makan. Dirawat di rumah sakit sendirian tanpa ada yang mengurus itu nightmare, Anyelir."
Ah, aku baru ingat Alex merantau di Jakarta. Semua keluarga ada di Bali. Ayahnya bekerja di Perancis. Aku tidak bisa membayangkan sesepi apa hidup Alex selama merantau bertahun-tahun ini tanpa ada hadirnya keluarga di kesehariannya.
"Ibunya sudah sehat, Pak?" tanyaku. Sejak mengajukan cuti untuk pulang ke Bali dan merawat ibunya yang jatuh sakit, aku belum memiliki kesempatan untuk menanyakan kabar ibunya ke Alex.
"Sudah. Sekarang kembali sibuk mengurus restoran." Alex mendecakkan lidah. Ekspresinya menggambarkan kejengkelan yang kentara. "Susah buat diomongin. Padahal dokter sudah berpesan buat jangan terlalu kelelahan bekerja. Tapi, emang dasarnya ibu saya nggak betah bersantai di rumah. Selalu ada aja kesibukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Overdue [COMPLETED]
Chick-LitSelama ini sebuah janji di masa lalu telah mengikat Anye hingga sulit baginya melangkah menuju jalan yang dia inginkan. Di tengah kebimbangan dan kegamangan yang mengisi hatinya, Alex hadir menawarkan sesuatu yang telah hilang di hidupnya. Setelah...