"Gimana sih, ini maksudnya, Sis?" tanyaku sambil memijat pelipisku. Efek belum tidur semalaman sekaligus pertengkaran dengan keluargaku semalam sudah menguras habis tenagaku. Meski aku sempat tertidur beberapa puluh menit berkat bantuan Alex sebelum jam kerja dimulai, tidak kupungkiri hal itu tidak banyak membantu. I had enough problems. Aku tidak menyangka akan mendengar masalah lain di kantor karena kecerobohan Siska. "Kenapa bisa salah kirim?"
"Itu, Kak... aku yang salah sebenernya," sambut Siska dengan raut wajah penuh rasa bersalah. Nada cerianya lenyap seketika padahal beberapa menit yang lalu, dia masih asyik mengobrol dengan Brian tentang laki-laki yang match dengannya di dating apps. "Klien kasih surat konfirmasinya sudah bundle gitu, Kak. Mereka sudah clip per shareholder dan aku nggak cek lagi halaman belakangnya. Ternyata klien salah bundle jadinya tertukar halaman belakang yang dipakai shareholder buat konfirmasi balance."
"Kok bisa-bisanya nggak lo cek lagi, Sis? Gue sudah pernah bilang—berkali-kali bahkan—kalau klien kasih data atau hal-hal lainnya, jangan lupa dicek ulang. Apa lagi yang berkaitan dengan surat-menyurat kayak konfirmasi gini," tegurku. Meski sudah menahan emosi sedemikian rupa, suara yang keluar dari mulutku masih terdengar begitu sinis hingga Siska menundukkan kepalanya. Wajahnya kontan memucat. "Yang tertukar shareholder di luar negeri pula. Klien mana mau kalau disuruh tanda tangan dan kirim ulang surat konfirmasinya."
"Maaf, Kak. Aku aja yang nanti bilang ke kliennya," ujar Siska lemas.
"Bukan masalah ngomong ke kliennya doang, Sis!" Aku menarik napas, berusaha mengendalikan emosiku yang sudah meluap. Kepalaku mulai berdenyut. "Sebentar lagi kita mau lock angka dan nggak akan keburu kalau harus kirim surat konfirmasi ulang. Itu surat konfirmasi wajib balik dan klien pasti nggak akan mau terima alasan reporting mundur karena kelalaian kita. Belum lagi kalau Pak Alex tahu."
Siska menggigit bibir bawahnya. Dia berdiam diri di sebelah kubikelku sementara aku mulai berpikir keras mencari jalan keluar untuk masalah ini.
"Nanti gue pikirin dulu deh, Sis." Aku mengibaskan tanganku. "Lo kirim dulu ke gue balasan email dari mereka supaya gue bisa cek balasannya. Lo lanjut kerja aja."
Setelah meminta maaf untuk kedua kalinya, Siska kembali ke mejanya yang ada di belakangku. Belum ada lima detik berselang ketika Alex menaruh laptop dan sebuah minuman hangat dengan logo toko teh premium di mejaku yang berdampingan dengan Mas Fauzi. Aku hanya bisa mengumpat di dalam hati. Aku belum siap bertemu dengannya setelah mengetahui kesalahan yang Siska lakukan.
"Kenapa?" tanya Alex.
"Itu, Pak..." Aku melirik Siska yang sudah tegang di tempat duduknya. Dia memutar kursinya ke arahku hingga aku bisa melihat kepanikan yang menyelimutinya. Pasrah, aku pun melaporkan ulang apa yang Siska laporkan padaku ke Alex. Meski hubungan kami di luar kantor cukup dekat, Alex sejauh ini selalu bersikap profesional jika berkaitan dengan pekerjaan. Dia tidak pernah menahan diri untuk menegurku ketika aku melakukan kesalahan. "Saya mau ngomong dulu ke klien perihal masalah ini. Kalau mereka—"
"Apa jaminannya mereka nggak akan marah-marah dan mengadu ke saya atau partner karena masalah ini?" sindir Alex. Dia mendecakkan lidahnya dengan ekspresi yang berubah keras. "Mereka nggak akan mau diminta kirim ulang suratnya. Direktur Keuangan yang harus tanda tangan setahu saya juga sedang dinas ke luar negeri."
Aku terdiam.
"Surat konfirmasi yang tertukar sudah balik semua?" tanya Alex.
"Sudah, Pak. Dua-duanya jawab incorrect karena balance yang kita masukkan nggak sesuai—karena lembar konfirmasinya tertukar itu," timpalku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Overdue [COMPLETED]
ChickLitSelama ini sebuah janji di masa lalu telah mengikat Anye hingga sulit baginya melangkah menuju jalan yang dia inginkan. Di tengah kebimbangan dan kegamangan yang mengisi hatinya, Alex hadir menawarkan sesuatu yang telah hilang di hidupnya. Setelah...