Ch. 18: Breaking point

5.3K 710 58
                                    

Read this when you have a lot time to spare. 5000+ words for my precious readers. Happy reading! :)

*


"Pesanan kamu." Aku terperangah ketika kotak persegi panjang dengan desain cantik diletakkan di depanku. Air liurku nyaris menetes berkat macarons yang beberapa kali muncul di laman media sosialku kini berada di depan mataku. "Mungkin rasanya nggak akan se-fresh kalau kamu makan langsung di sana, tapi sepupu saya sudah menjamin kalau macarons-nya masih enak untuk dimakan."

Tanganku bergerak otomatis untuk mengambil satu buah macarons, menggumam dengan senang begitu lidahku merasakan perpaduan blueberry dan lemon. "Enak banget, Pak!" ujarku dengan senyum lebar. Suasana hatiku seketika berubah menjadi riang meski beberapa menit yang lalu baru saja menerima chat dari klien yang tidak mengenakkan. Dessert fixes everything. Alex menaikkan sebelah alisnya, membuatku berkata, "Kita lagi di kantor. I need to address you properly."

Alex seperti masih ingin menyuarakan keberatannya, tetapi diurungkan pada akhirnya dan memilih untuk mengeluarkan laptop dari dalam tas agar bisa mulai bekerja. Dengan mulut sibuk mengunyah macarons, aku membuka chat WhatsApp yang hanya berisikan anak-anak satu tim tanpa Alex. Dia datang cukup pagi hari ini—dan aku sudah bisa membayangkan kepanikan anak-anak timku kalau mereka tahu Alex datang lebih dulu dari mereka.


Anye: Bos sudah datang.

Anye: Kalau kalian sudah sampai di lobi, buruan lari sebelum gue dengar bos ngomong soal disiplin waktu di pagi hari yang cerah ini.


Meski Alex sudah berbaik hati membawakan macarons ini dari Bali, aku juga perlu bertindak sebagai incharge yang bertanggung jawab dan memberitahu situasi terkini ke satu timku. Walaupun Alex tidak akan menegur mereka terang-terangan perihal keterlambatan itu, Alex akan menyampaikan keberatannya itu padaku agar dapat menyampaikan ke rekan satu timku untuk lebih disiplin terkait jam kerja. Hal ini sudah pernah terjadi tahun lalu karena Tanya terlambat setengah jam di tahun pertama Alex bekerja di KAP ini dan di hari pertama fieldwork.

"Tentang yang saya omongin di telepon beberapa hari yang lalu," Aku mendongak, beradu pandang dengan Alex yang menatapku lekat. Pipiku terasa menghangat ketika memahami pembicaraan mana yang dia maksud. "Kapan kamu punya waktu kosong buat ngobrol sama saya?"

Dengan gugup, aku menjawab, "Hari ini pulang dari kantor?"

Alex menaikkan sebelah alisnya. Bibirnya seperti sedang menahan senyuman. "Pulang dari kantor?" tanyanya, mengundang anggukan kepala dariku. Alex menggeleng dengan senyum yang tidak bisa dia tahan lagi. "Kamu yakin hari ini bisa pulang tenggo? Working paper anak-anak sudah selesai kamu review semua?"

"Oh." Aku mengerjapkan mata lalu meringis pelan. "Belum." Aku berdeham pelan sambil mengelus pahaku. Lalu, memberikan opsi lain dengan ragu. "Weekend?"

Alex mengangguk. "Sabtu atau Minggu?"

"Sabtu aja, Pak."

"Oke. Sabtu siang jam dua. Nanti saya jemput ke rumahmu."

Berbeda denganku yang sudah salah tingkah dan tidak mampu menatapnya lurus, Alex terlihat tenang di tempat duduknya. Pandangannya yang tidak pernah terlepas dariku sepanjang berbicara, membuatku semakin ingin menyembunyikan diri karena malu.

Dengan kaku, aku memberikan anggukan sebagai jawaban. Kemudian, berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku meskipun yang terbuka di layar laptopku sekarang bukannya working paper yang harus ku-review melainkan group chat dengan timku.

Long Overdue [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang