Happy weekend and happy reading all! ˶ᵔ ᵕ ᵔ˶
*
"Klien yang satu ini kayaknya bakal dragging, Nye." Aku menyesap kopiku sementara Mas Fauzi berbicara mengenai salah satu klien yang menjadi tanggung jawabnya. Klien yang membuat Alex mengalokasikan beberapa pekerjaanku ke Brian untuk membantu Mas Fauzi. "Toolkit juga belum selesai. I'm not really confident about the risk assessment."
"Waktu itu bukannya sudah diskusi sama gue, Mas? Masih belum yakin?" tanyaku.
"Diskusi sama lo sebenernya sudah membantu banyak, tapi gue masih belum yakin dengan materiality scenario-nya."
"Menurut gue, scenario-nya sudah tepat kok, Mas," ujarku menenangkan. "Benchmark yang kita pakai untuk hitung materiality-nya juga sudah tepat. Sejujurnya kalau dilihat-lihat business process klien ini cukup straightforward dan lo sudah pernah pegang klien lebih besar di industri yang sama. You will be fine."
"Jadi, gue submit aja dulu toolkit-nya ke Mas Alex?" tanya Mas Fauzi.
Ah, Alex. Mendengar namanya membuat pikiranku terlempar ke momen tahun baru yang kami habiskan bersama beberapa hari lalu. Beserta harapannya agar aku menanggalkan seluruh panggilan hormatku padanya di luar kantor.
Malam itu, aku memang melafalkan namanya tanpa panggilan hormat seperti yang biasa kusematkan. Tapi tak lama kemudian, kesadaran seolah menghantamku dan aku langsung berpamitan pulang.
"Submit dulu aja ke Pak Alex." Aku menyapu pandangan ke sekitarku. Coffee shop yang ada di lantai satu gedung kantorku ini terlihat ramai meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. "Nanti kalau ada yang kurang atau keliru, pasti Pak Alex akan bilang. He always open for discussion."
"After lunch gue kirim setelah gue cek sekali lagi," timpal Mas Fauzi.
Aku mengangguk pelan tanpa memberikan komentar lebih lanjut. Ekspektasi Alex yang cukup tinggi terhadapnya mungkin menjadi kontribusi atas stressnya Mas Fauzi menangani klien ini. Selain klien ini adalah klien tahun pertama yang diaudit oleh kantorku, engagement partner yang menanganinya terkenal detail dan banyak menuntut. Bahkan, Alex telah memberikan peringatan pada Mas Fauzi sejak awal untuk mengerahkan segala yang dia punya untuk menangani klien ini.
Di mataku, klien ini adalah sebuah challenge yang diberikan oleh atasan-atasan kami untuk menilai kelayakan Mas Fauzi untuk dipromosikan menjadi manajer tahun ini. Jika dia bisa menanganinya dengan baik, maka promosi itu akan dia dapatkan.
"Masih sering sakit kepala?" tanya Mas Fauzi sambil menunjuk plastik dengan logo apotek yang terkenal.
"Masih. It's not going away," keluhku seraya memijat pelipisku pelan.
"Semalam tidur jam berapa?"
"I don't know. Mungkin jam tiga pagi? Atau setengah empat, ya? Gue sudah nggak lihat jam lagi pas naik ke tempat tidur," ujarku. Ketika aku membuka mata jam setengah tujuh pagi, sakit kepala yang kurasakan sudah hilang. Namun, setelah menempuh kemacetan dan menginjakkan kaki di kantor, rasa nyeri itu datang kembali. "Nanti juga hilang setelah minum obat, Mas."
"Lo itu kecapekan, Nye." Mas Fauzi menggelengkan kepala seraya melirikku skeptis dari balik gelas kopi yang sedang disesapnya. "Lebih baik lo pergi berobat ke dokter supaya bisa dapat obat yang benar daripada cuma minum obat-obat yang ada di apotek."
"Emangnya ada orang yang nggak capek kalau lagi peak season begini, Mas?" sindirku. Tanganku kembali lari ke pelipis, berusaha menghilangkan rasa nyeri yang semakin menusuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Overdue [COMPLETED]
Chick-LitSelama ini sebuah janji di masa lalu telah mengikat Anye hingga sulit baginya melangkah menuju jalan yang dia inginkan. Di tengah kebimbangan dan kegamangan yang mengisi hatinya, Alex hadir menawarkan sesuatu yang telah hilang di hidupnya. Setelah...