Ch. 20: Think about good things

5.4K 584 31
                                    

I can't sleep. Aku menatap kosong dinding kamarku sementara pikiranku mereka ulang apa yang terjadi di rumah sakit. Seharusnya aku merasa lega setelah semua emosi yang kupendam tersalurkan tapi kelegaan yang kurasakan rupanya hanya bertahan sesaat. Realita berhasil menamparku setelah aku berbaring di atas tempat tidur.

I lose control. Aksa dan Alex menyaksikannya.

Seharusnya aku tidak selemah itu. Bagaimana caranya aku menghadapi Mama besok kalau semudah itu aku runtuh? Bagaimana caranya aku menjelaskan ke Aksa tentang apa yang terjadi semalam? Meski entah berapa lama dia berdiri di sana dan mungkin bisa menebak apa yang terjadi, aku yakin dia pasti akan menagih penjelasan yang kujanjikan. Kapanpun itu. Dan saat waktu itu datang, aku juga harus menjelaskannya ke Mama dan Jojo.

Bagaimana aku membicarakan hal itu ke keluargaku? Aku tidak ingin menjadi alasan Mama, Aksa, dan Jojo bersedih. Aku tidak ingin menambah beban pikiran Mama di saat kondisi kesehatannya sedang tidak begitu baik.

Aku bahkan tidak mengerti kenapa semalam bisa berujung seperti itu. Yang kutahu, pikiranku seolah memiliki kendali sendiri dan membuatku teringat hal-hal yang ingin kulupakan, kemudian sesak yang menetap di dadaku terasa semakin nyata hingga aku tidak mampu bernapas. Kakiku melemas, tidak sanggup menopang tubuhku.

What is wrong with me? I'm doing great so far...

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi hari ini." Suara Alex semalam terngiang di pikiranku. "It's not your fault, Anyelir."

Is it really not my fault? Seandainya aku mampu mengendalikan diriku lebih baik lagi, kejadian itu tidak akan terjadi semalam. Aksa tidak akan melihat kejadian itu—yang kemungkinan akan menimbulkan trauma tersendiri untuknya. Alex juga tidak perlu melihat kejadian itu dan berujung berhadapan kembali dengan rasa sakit yang dia sembunyikan. I made people around me worried. I shouldn't make them worried.

Aku mengembuskan napas, lelah, kemudian meraih ponselku yang tengah berbunyi di atas nakas. Cahaya matahari yang berasal dari sela-sela jendelaku menerangi kamarku yang gelap gulita. Normalnya perasaanku akan berbunga-bunga setiap Alex menghubungiku tetapi kali ini berbeda. Hanya ada perasaan bersalah yang menyelimutiku begitu teringat matanya yang memancarkan luka semalam.

"Anyelir." Suara Alex menyapaku dengan hangat. "How was your sleep?"

"Good," dustaku, dengan suara yang terdengar nyaris berbisik.

Alex terdiam di ujung sana dan aku pun tidak berniat memberikan jawaban lebih. I don't have energy for that. Kepalaku pusing dan berbicara pun rasanya sulit. "You can lie to anyone else but don't do that to me," pintanya dengan suara yang terdengar muram. "Nggak bisa tidur semalaman?"

Aku mengangguk pelan.

"Kamu nggak ngantuk? Kepalamu nggak pusing?" tanya Alex lagi.

Pusing, batinku dengan bibir yang agak bergetar.

Ada hening menyakitkan yang terdengar cukup lama hingga akhirnya air mataku kembali mengalir membasahi bantal ketika Alex berkata, "Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau bicara sekarang. I truly understand. You want to speak but there is no voice coming out, right?" Aku memberikan gumaman kecil di sela-sela isak tangis kecilku. Aku bahkan tidak tahu kenapa air mata ini terus membasahi pipiku. I just want all of this to stop. This pain... these memories that keep haunting me... I want it to be gone. "Saya tahu kamu pasti kebingungan—you still trying to grasp last night event and that's normal. I also struggled a lot when I deal with it at the first time—even until now I'm still struggling."

Long Overdue [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang