Aku menyandarkan tubuh pada sandaran kursi dan memejamkan mata yang terasa perih setelah melihat layar laptop seharian. Sudah jam setengah tujuh malam. Aku sudah kehilangan hitungan berapa kali lembur yang kujalani selama beberapa hari terakhir. Padahal ini masih bulan November. Yang kutahu, bulan ini-meski baru masuk pertengahan-hanya dua kali aku dapat beristirahat dengan tenang di rumah. Saat weekend di minggu pertama. Sedangkan minggu kemarin, aku harus berangkat ke kantor dari hari Senin sampai Sabtu, dan lanjut bekerja lagi hari Minggu di rumah.
"Pegal, babe?" tanya Brian ketika aku meregangkan tubuh. Otot-otot tubuhku terasa kaku akibat terlalu lama duduk. Karena Brian duduk di sampingku, dengan mudahnya dia menaruh tangannya di bahuku. "Sini gue bantu pijat biar agak enakan."
"Thanks, Bri," ucapku sambil memiringkan posisi tubuh agar dia lebih mudah memijat pundak yang tidak kalah kaku dibandingkan otot leher.
"Pesan makan, yuk! Gue sudah lapar," ajak Tanya. "Spin the wheel dulu."
Aku mengerang. "Jangan sampai gue lagi yang kepilih."
Mas Fauzi dan Siska mengeluarkan tawa. Permainan spin the wheel mulanya dicetuskan oleh Brian untuk menentukan siapa yang harus mengurus makan malam setiap kami lembur. Dalam artian, orang yang terpilih harus mencari dan memilih menu makan malam yang disukai semua orang, memesannya lewat aplikasi, dan mengambilnya di lobi ketika pesanan itu datang. Saat pertama kali mendengar permainan itu, aku berdecak antara kagum dan ngeri. Brian memang memiliki segudang cara demi mendapat hiburan.
Permasalahannya, keberuntunganku sangat buruk. Dalam minggu ini, sudah dua kali aku mendapat giliran untuk mengurus makan malam tim. Tidak mudah memilih menu yang bisa dimakan semua orang. Terutama makanan untuk Alex. Dia tidak suka makan daging atau sayur, alergi seafood-kecuali ikan, dan tidak suka makanan pedas. Setiap beli ayam geprek, Alex selalu memesannya tanpa cabai sedikit pun sementara aku dan Tanya selalu memesan level tertinggi-kadang extra cabai-untuk melampiaskan stres.
"Siapa yang kepilih?" tanya Siska sembari merapatkan tubuh ke Tanya. Mas Fauzi yang berada di sebelah Tanya juga ikut-ikutan menengok.
"Omong-omong, Pak Alex masih meeting sama klien?" tanyaku karena tidak melihat keberadaannya di working space sejak beberapa jam yang lalu padahal dia yang meminta timnya untuk duduk di satu area yang sama guna memudahkan koordinasi dan komunikasi.
"Meeting sambil curhat colongan," celetuk Mas Fauzi sambil terkikik.
"Kayak Tanya yang suka curhat colongan?" gurauku.
"Gimana sama cowok lo, Nya? Masih suka berantem karena lo sibuk kerja?" tanya Brian.
Suara ketikan di atas keyboard terhenti seketika. Tanya mendesah frustasi dengan ekspresi yang berubah muram. Pertanda bahwa pertengkaran dengan kekasihnya masih terus berlanjut sampai sekarang. Kesibukan yang tidak ada habisnya menjadi penyebab utama setiap pertengkaran mereka. Akhir-akhir ini, Tanya mulai putus asa dengan hubungannya yang tidak bergerak ke mana-mana. Setiap menceritakan permasalahannya padaku, aku hanya bisa mengusap punggungnya. Menyuruhnya bersabar sambil memutar otak untuk mencari solusi.
"Mendingan nggak usah kita bahas," larangku. Semata-mata tidak ingin suasana hati Tanya terjun bebas di saat dia masih harus bekerja malam ini hingga waktu yang tidak dapat ditentukan.
Aku menengok ke Brian. Memintanya untuk memijat pergelangan tanganku dan dia turuti dengan sukarela. "Duh, enaknya kalau punya pacar kayak lo, Bri. Pasti sering dimanja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Overdue [COMPLETED]
Genç Kız EdebiyatıSelama ini sebuah janji di masa lalu telah mengikat Anye hingga sulit baginya melangkah menuju jalan yang dia inginkan. Di tengah kebimbangan dan kegamangan yang mengisi hatinya, Alex hadir menawarkan sesuatu yang telah hilang di hidupnya. Setelah...