Ch. 28: Blank space

5K 659 46
                                    

I don't know how many days has passed since I'm finally giving up on everything. Life is passing by while I'm hugging myself in the bed.

I'm crying to sleep, then waking up feeling helpless and guilty all over again.

Tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya, begitu mataku terbuka dan memandang kedua tanganku—yang kini sudah tidak terbalut oleh kain kasa—kesedihan itu kembali datang. Keputusasaan membawa air mata kembali menyeruak. Luka di telapak tanganku masih tampak begitu nyata, berhasil membawa ingatanku ke malam itu—ketika Mama memelukku di depan kolam ikan dan memohon maaf padaku. Ketika aku menangis di pelukan Mama hingga kehilangan kesadaran diri dan terbangun di kamar Mama dengan tangan yang terluka.

"Kakak sudah bangun?" suara Mama terdengar. Entah sejak kapan Mama memasuki kamar—aku tidak mendengarnya. Detik selanjutnya, tangan Mama sudah jatuh di keningku, mengusapnya lembut. "Makan dulu ya, Kak. Tadi pagi Kakak belum sarapan."

Aku menatap Mama dalam diam. Nggak lapar. Bibirku justru terkatup rapat. Sebagai jawaban—seperti beberapa kali sebelumnya, aku menggeleng pelan.

"Kalau nggak makan, nanti Kakak sakit. Kakak bosen sama makanan di rumah? Kamu mau makan apa? Nanti Mama minta Abang atau Dedek belikan," bujuk Mama. Aku kembali meringkuk kemudian menggeleng lagi.

Isakan tangisku yang menjelma menjadi jawaban membuat raut wajah Mama berubah. Senyum di wajahnya seketika menghilang dengan kesedihan yang langsung membayang—dan begitu saja, rasa bersalah itu kembali menghantamku teramat keras.

Selama ini aku telah berhasil menahan semuanya sendirian. Meski kakiku tidak pernah beranjak dari masa lalu, terus menetap di masa itu, aku telah bertahan hingga sejauh ini.

Kini semuanya berujung sia-sia.

Perjuanganku, pengorbananku, penguatan yang selalu kuberikan untuk diriku sendiri setiap ingin menyerah kini tidak ada artinya. Semuanya sudah terbongkar. Tidak ada lagi yang kusembunyikan dari mereka—keluargaku. Rahasia yang kusimpan mati-matian beberapa tahun terakhir, terbuka begitu saja, mengundang perih dan membawa luka bagi orang-orang yang mengetahuinya.

"Kakak mau cerita sama Mama? Sekarang apa yang Kakak rasakan? Kakak boleh cerita apa aja ke Mama. Apa yang Kakak pendam selama ini—karena nggak mau menyusahkan dan menyakiti hati keluarga, Mama mau dengar," pinta Mama sambil mengusap kepalaku.

Dari pandanganku yang buram, aku bisa melihat setitik air mata jatuh dari mata Mama. Akhir-akhir ini, memang selalu seperti ini. Setiap aku menangis, Mama pasti selalu ikut menangis dan menemaniku hingga akhirnya aku terlelap. Sejak malam itu, Mama enggan meninggalkanku sendirian. Aku menghabiskan hampir seluruh waktuku di kamar Mama—di atas tempat tidurnya—hanya beranjak ketika Mama memaksaku untuk mandi dan makan.

I'm losing a willing to live.

I'm losing a purpose to live.

Sekarang apa lagi yang harus kuperjuangkan? Kebahagiaan keluargaku? Aku sudah gagal sejak malam itu. Kini, semuanya tidak akan lagi sama. Pasti tidak akan pernah sama. Sejak malam itu, semuanya berubah secepat kedipan mata. Cara mereka memandangku—kini dipenuhi dengan kecemasan yang berlebihan. Cara mereka berbicara denganku—kini cenderung lebih berhati-hati karena tidak ingin menyakiti hatiku.

Seharusnya tidak seperti ini, kan?

Seharusnya aku mencari cara untuk memperbaiki keadaan—persis seperti apa yang selalu kulakukan—tetapi, pikiranku buntu. Pikiranku terlalu berisik, membisikkan pengaruh buruk yang membuatku kembali dilanda putus asa, hingga aku tidak dapat berpikir dengan jelas.

Long Overdue [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang