#41

154 8 0
                                    

Eva baru saja menginjakkan kakinya di parkiran kantor. Langit telah gelap, waktunya untuk kembali ke rumah. Sekujur badannya terasa lelah karena bekerja keras seharian ini. Pagi berkutat dengan harga bahan pokok di pasar yang melejit tajam. Jelang tengah hari, bergeser untuk mengawal penggusuran hunian liar di pinggiran Jakarta. Kemudian diminta ke kantor guna menyelesaikan beberapa urusan. Letih rasanya.

Ingin segera mengguyur badannya dengan air yang sejuk kemudian melanglang buana ke alam mimpi.

Triing... Triing... Triing....

Ponselnya berbunyi saat baru saja ia hendak mengenakan pelindung kepalanya.

"Halo, naon Jar," bukanya dengan sedikit lesu.

"Lu udah di mana? Gue udah nyampe nih, masa gue nungguin lu terus," pria di ujung sana terdengar menyerocos. Eva sedikit menjauhkan layar ponselnya. Merasa heran.

"Nungguin siapa anjir? Gue? Ngapain?"

"Gausah belagak lupa"

"Hah? Apaan sih. Ganggu aja lo," ketusnya.

"Lah, kumaha ceritanya jadi lu yang marah anjir. Kan kemaren udah gue ajak  ketemuan, gimana sih."

Eva berpikir sebentar, berusaha mengingat.

"Yeh, si bocah. Beneran lupa. Udah, buruan gue tunggu di mall tempat biasa." tutup Fajar. Eva langsung menuju tempat yang dimaksud. Enggan untuk menambah rumit pikirannya.

"Udah sampe nih. Lo di mana?"

"Di resto tempat biasa makan sama anak-anak"

Benar saja. Sesampainya di resto yang tadi dimaksud, Eva melihat Fajar sudah duduk sambil meminum segelas jus alpukat. Di hadapannya juga terdapat segelas minuman lain yang sudah Eva identifikasi adalah jeruk peras.

"Nyampe juga," ujar lelaki itu santai sambil memainkan ponselnya. Eva langsung duduk, melepas lelah. Memang, jarak kantornya dengan tempat ini masih lebih dekat jika dibandingkan dengan Pelatnas. Tetap saja, Eva merasa ia menempuh jarak sejauh menyeberang samudera.

"Minum dulu," lanjut Fajar seraya sedikit menggeser gelas berisi es jeruk peras pada Eva.

"Gue baru kelar kerja, Jar. Terus lo ngajak gue ke sini, mau ngapain sih emangnya?" keluh Eva setelah meneguk minuman segarnya.

"Mau makan apa?" Fajar justru melemparkan pertanyaan lain. Ia seakan tak mau menjawab pertanyaan Eva. Atau bahkan malas menjawabnya sebab sudah ia jelaskan kemarin.

"Keliling ke mana aja lu hari ini?" Fajar membuka obrolan mereka saat tengah nikmatnya menyantap hidangan.

"Ke pasar, lanjut liat gusuran, terus ngendep di kantor" terang Eva seadanya.

Fajar menangguk paham. Lantas ia meneruskan sesi makannya.

"Lo beneran sendiri ke sini, Jar? Yakin lo?"

"Iya lah, kenapa sih emang?"

"Engga. Maksud gue, mau ngapain anjir."

"Makan, healing. Di asrama sepi. Gue mikir, udah lama juga ga bikin lu sewot. Makanya gue kerjain sekalian."

"Sialan"

Mereka kemudian menghabiskan waktu dengan banyak berbagi cerita. Beberapa bulan tidak berjumpa, rasanya memang begitu banyak hal yang bisa dibagikan satu sama lain. Sekecil apapun itu, terasa luar biasa.

Tak hanya itu, Eva juga mengajak Fajar untuk mampir ke gerai buku. Mencari buku incarannya sekaligus melihat koleksi-koleksi lain yang bisa dijadikan bidikan selanjutnya.

"Nyari buku apaan sih?"

"Laut bercerita"

"Hah?" sejenak jawaban Eva membuat Fajar sedikit bingung. Tetapi ia masih setia mengikuti langkah pelan gadis itu di antara rak-rak buku.

Eva memang seseorang yang gemar membaca, dia bahkan bisa menghabiskan waktu yang lama tiap kali mampir ke toko buku. Saat libur bekerja, Eva akan seharian di kamar hanya untuk menyelesaikan bacaannya. Apalagi kini ia menjadi jurnalis, ia mesti selalu membaca guna meluaskan wawasannya. Pekerjaan ini, membuatnya merasa nyaman sebab hobinya tersalurkan. Hukum, kesehatan, sastra, psikologi, dan hal lain kini menjadi akrab dengan gadis manis itu lewat bacaan.

“Novel, Jar.” jelas Eva saat melihat lelaki itu masih saja kebingungan. Tepat saat ia berhasil menemukan wishlist nomor satunya bulan ini.

“Oh, terus buku apa lagi?”

“Hmmm,  I think…” Eva kembali mengedarkan pandangannya, kini ia berlari kecil menuju rak lain.

"Nahhh"

Tjokroaminoto : Guru Para Pendiri Bangsa

Fajar menatap buku yang dipegang Eva. Gadis itu terlihat antusias dengan bahan bacaan yang akan dibelinya hari ini. Ia menilai, dua buku yang dipegang Eva saat ini isinya amat berat. Meski tak paham, tapi Fajar yakin buku pertama tadi adalah buku yang perlu dibaca dengan fokus tinggi. Ditambah buku kedua yang memuat sejarah seorang tokoh besar negeri ini. Habis sudah otaknya bila membaca kedua buku itu, pikir Fajar.

"Bakal baca yang mana duluan Va?"

"Ini sih. Masih penasaran sama sosoknya Pak Cokro. Dia bisa ngehasilin pemikir-pemikir hebat. Penasaran sama caranya" ujar Eva sedikit menjelaskan. Memang, sosok H.O.S Tjokroaminoto sangat menarik untuk ditelusuri jejaknya. Sejarah mencatatnya sebagai guru bagi para tokoh besar bangsa ini. Pembawaannya yang tegas, membuatnya dihormati anak-anak asuh yang ada di rumahnya. Itulah yang memantik rasa penasaran Eva akan sosoknya. Menarik.

"186.000"

Eva mengeluarkan uang tunai dari dompetnya setelah mendengar ucapan kasir. Tapi kemudian tangannya langsung ditepis oleh Fajar.

"Ini aja, Mba"

"Buku gue, Jar..."

"Anggep aja hadiah karena udah mau gue recokin hari ini"

Eva hanya membalasnya dengan helaan napas. Pria ini memang selalu bisa membuatnya merasa heran.

"Kalo tau gitu, tadi gue ambil semua buku yang ada di sini aja" Eva meledek saat mereka keluar toko buku.

"Bikin gue bangkrut namanya"

"Lagian lo gabut banget sampe sini healingnya.."

"Sengaja, biar bisa liat jalanan"

Menggeleng, "..gue kira lo bakal jalan ama gebetan lo gitu. Gue liat-liat, lo makin laku aja di program gosip tiap pagi"

Fajar meliriknya sebentar, "kelebihan itu"

"Oh ya? Tapi sama si artis sinetron itu, gue liat-liat serasi bener lo"

Mengangguk, "temen biasa aja itu"

Eva mengangguk paham. Tak mau mencampuri urusan pribadi orang itu terlalu jauh. Dan tak mau tahu juga.

"Lu sendiri, gimana?" pertanyaan Fajar mengisi kekosongan obrolan mereka saat menuruni eskalator.

"Apanya yang gimana?"

"Keluar dari PBSI, udah ada yang nyantol belom?"

Eva menertawakan pertanyaan yang diajukan Fajar barusan, "Asal lo tau ya, Jar. Sehari-hari kerjaan gue wawancaranya bapak-bapak kacamataan semua"

"Hahaha, terus sama yang tentara itu?"

Wajah Eva berubah masam, "ini nih, males gue. Kudu berapa kali gue bilang si Pierre tuh bukan cowo gue"

"Yakin?"

"Menurut lo?"

"Terus hati lo nyantol di mana ya kira-kira?" Fajar tambah meledek Eva. Ia bahkan kian gencar memasang ekspresi jahil pada manusia di sebelahnya.

"Kalo gue bilang di Cipayung, gimana?"

"H-hah?!?!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

W.U.N.D.ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang