#2

384 15 0
                                    

Jakarta, 2006

Langit cerah kota Jakarta ditambah semilir angin menambah sejuk udara  yang biasanya pengap. Tidak berlaku bagi Eva,gadis kecil yang masih menginjak usia sepuluh tahun. Dia masih duduk memandangi adik kecilnya. Masih usia satu tahun,sedang lucu lucunya. Sekarang tengah tertidur pulas,sangat pulas.

"Yang sabar ya Mba. Udah takdir" ucap beberapa orang yang datang. Ini memang takdir,tapi bukankah takdir bisa dicegah? Bisa diubah? Andai saja Eva tidak melupakan tanggung jawabnya,tidak akan begini jadinya.

"Va,makan dulu Nak. Ini udah malem. Kamu belum makan dari tadi pagi" ucap Ibunya di depan kamar. Eva? Dia masih diam didalam kamar sejak pemakaman adiknya tadi siang.

"Udahlah,Va. Kamu ga usah salahin diri sendiri. Udah takdir,Nak" lanjut Ibunya saat Eva tak kunjung memberikan jawaban.

"Takdir?" sahut Eva membuka pintu kamarnya

"Takdir kalo Eva bukan kakak yang baik buat Kaila,Bu?" timpalnya dengan air mata kemarahan yang sudah membumbung dikelopak matanya

"Engga,sayang. Kamu kakak yang baik kok buat Kaila. Tapi Allah lebih sayang sama Kaila"

"Allah lebih sayang sama Kaila? Apa karena Allah iri karena aku lebih sayang sama mereka?" ucap Eva sambil memegang benda kesayangannya.

"Engga,sayang"

Tanpa aba aba,Eva langsung menerobos Ibunya dan membawa barang barangnya itu keluar rumah.

"Mau diapain Va?" keluh Ibunya saat menyusulnya.

"Gara gara ini,Allah ngajak Kaila pergi bu. Eva benci!" ucapnya lalu membuang barang tadi ke tong sampah.

Baginya,raket-raket dan medali-medali itu adalah sampah. Bulutangkis hanya mimpi buruk untuknya. Adik kecil satu satunya harus pergi karena bulutangkis. Impian dan janjinya pada Ayah untuk menjadi bintang bulutangkis dunia seperti Susi Susanti telah dikuburnya sangat dalam. Kecintaannya pada olahraga ini sudah mati dan kini tumbuh benih kebencian. Dendam yang tak akan pernah terbalaskan.

°○°

Kenangan itu terus menyeruak di dalam pikiran Eva. Sepekan sudah dia tinggal dibangunan ini. Bangunan yang dulu menjadi tempat impiannya. Dulu,itu dulu. Sekarang,tempat ini seperti neraka baginya. Eva sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Dia juga sudah mulai terbiasa menjalani hidup diasrama. Tapi dia masih belum bisa berdamai dengan hal yang dibencinya. Sedikit pun tidak.

"Va,ini surat tugas. Lo ikut ke Malaysia minggu besok" ucap Mba Wid yang baru memasuki ruang kerja

"Kok gue sih Mba?"

"Ya elo lah. Nanti gue dampingin kok,tenang aja. Kalo lo cuma liputan di PBSI aja,gimana mau berkembang Va?" celetuk Mba Wid.

Benar,bukankah seorang wartawan harus mau menerima setiap tugasnya. Harus mau berkembang. Tapi lagi lagi,bulutangkis menjadi hambatan bagi Eva. Itu ibarat tembok besar dan kokoh yang tak bisa Eva hancurkan.

"Oke,Mba" sahutnya setelah berpikir panjang. Ya,setidaknya dia harus bertahan dengan hal ini sampai satu tahun kedepan. Tentu,saat kontrak kerjanya selesai.

Eva melangkah ke salah satu spot yang paling dibencinya didalam gedung ini. Bisa kalian tebak? Ya,begitulah. Hall atau lapangan latihan. Tempat dimana net-net itu berjajar rapi diatas karpet hijaunya masing masing. Tempat berkumpulnya mereka yang tengah mengasah asa menjadi harapan bangsa.

"Wih,wartawan baru udah disini aja" seru seorang atlet pria dengan jahil.

"Apaan sih Jar" sahut Eva malas. Dia melanjutkan kegiatannya untuk memotret dipinggir lapangan. Duduk mengemper.

"Eh,Mba. Lo ikut ke Malaysia ga minggu besok?" ucap Apriani menghampirinya saat dia sedang sibuk melihat hasil jepretannya. Ya,seminggu menjadi penghuni pelatnas tentu membuat Eva mulai mengenal satu persatu dari mereka.

"Ikut,Pri. Udah ada surat tugasnya"

"Mantap! Kalo disana,nanti gue unjukin tempat-tempat seru deh,Mba. Sumpah lo harus tau" lanjut Apri

"Iya? Terserah lah Pri lo mau bawa gua kemana. Asal lo jangan ninggalin aja nantinya. Wong udik aku ini haha"

"Lah,haha. Ga bakal gue tinggal,tenang aja. Takut amat,ga bakal ada yang mau nyulik lo juga disana Mba haha"

"Asem lo Pri. Enak aja!" protes Eva. Apri dan pemain putri yang lain sudah pasti tengah terbahak bahak sekarang. Mereka kemudian membicarakan berbagai hal untuk mengisi waktu istirahat. Mulai dari hal serius sampai yang nyeleneh dan bikin ngakak terpingkal pingkal.

"Aduh,aduh,udah ah. Sakit perut gue,Jor" keluh Apri sambil memegangi perutnya dan menghapus sedikit bulir bening disisi matanya karena tertawa yang begitu keras. Saking kerasnya,hampir seisi hall bisa mendengar tawanya.

"Pri,ah elah. Ketawanya biasa aja kali. Sakit tangan gue dipukul lo terus" sambung Eva.

"Sorry,sorry" sahut Apri sambil menyudahi tawanya. Beberapa menit kemudian,mereka kembali meneruskan aktivitasnya.

"Eh,Va. Mau kemana? Disini aja,majn sama kita. Kurang satu nih" ajak Kak Gel saat Eva beranjak dari tempatnya karena pekerjaannya dilapangan sudah selesai.

"Sparring double yok" lanjutnya sambil menyodorkan raket.

"Ah,engga kak. Makasih,masih banyak kerjaan soalnya" tolak Eva halus dan kemudian pergi.

"Ga akan gue pegang benda sial itu sampe kapanpun" gumamnya sambil berjalan ke arah kantor.

"Va,buru buru amat?" ujar Ginting

"Eh,iya,masih harus selesain kerjaan. Duluan ya,Ting" sahutnya dan meneruskan langkah.

🏸🏸🏸

Hari ini,semua tim yang diikut sertakan ke turnamen Malaysia Masters 2018 berangkat.

"Mantap,turnamen ditemenin sama wartawan cantik" seru Fajar saat baru masuk ke kabin pesawat.

"Hilih,apaan sih Jar" sahut Eva

"Lah,PD amat sih Mba nya. Situ ngerasa cantik emang?" ledek Fajar

"Iissh,gue tampol juga lo"

"Haha,santai aja kali Va. Galak amat" seru yang lain

"Udah,udah. Kasian,jangan dibully terus. Nanti dia lompat dari pesawat" timpal Kevin

"Astagfirullah,sabarkan hamba ya Rabbi" gumam Eva sambil mengelus dadanya. Benar kata Mba Wid,menghadapi atlet putra memang perlu kesabaran yang ekstra tinggi.

"Heh,Va. Gimana,lo udah bisa damai sama tepok bulu?" bisik Mba Wid saat pesawat sudah diudara

"Menurut L,Mba?" sahut Eva datar kemudian kembali melihat ke buku yang ada ditangannya

"Ya ampun Va. Lo ga ada usaha buat damai gitu? Ya minimal niat lah"

Menghela napas,"kagak pernah. Dan ga akan pernah. Titik" ucapnya.

"Masa lalu emang ga selamanya baik. Pasti ada hal kusutnya. Tapi sebagai manusia kita harus bisa memaafkan masa lalu yang buruk itu. Dendam ga akan pernah selesai kalo ga ada niat untuk memaafkan" celetuk Kak Gel dikursi depan. Mereka memang duduk satu deret,jadi bukan tidak mungkin Kak Gel mendengar pembicaraan mereka.

"Coba aja,Va. Pelan pelan." lanjutnya

Eva tak menanggapi. Biasa mendengar ceramah seperti itu. Bagi Eva,tepok bulu adalah hal bodoh yang pernah dia lakukan.

Dua jam mereka diatas udara,akhirnya mereka menginjakkan kaki ditanah Jiran. Ini adalah kali pertama seorang Eva Dwikurnia menginjakkan kaki di negara asing. Ya,semoga keberuntungan memihak padanya.

W.U.N.D.ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang