#38

241 11 6
                                    

Jarum jam di dinding itu seakan berdentang. Terus menerus, membuat waktu seakan terasa begitu cepat. Seorang gadis tengah duduk di dalam sebuah ruangan. Terdapat sebuah rak di sudutnya yang terisi beberapa buku dan benda lain sebagai penghias. Sebuah sofa biru panjang, dua buah sofa yang lebih kecil dengan warna senada, dan sebuah meja putih nan mengkilap di hadapannya. Matanya mengedarkan pandangan ke setiap isi ruang. Memandangi beberapa hal, tak lepas pula sebuah logo yang menempel dari pintu kaca ruangan itu.

Jantungnya semakin tak karuan kala ia tak sengaja melihat ke arah jam dinding itu lagi.

10.08

"Wah, sudah datang! Hai, apa kabar Eva?", sapa seorang perempuan dengan rambut sepundaknya yang tertata rapi. Senyum tampak cerah dengan deretan gigi mengkilap di dalamnya.

"Pagi, Mba. Kabar baik, hehe", jawabnya canggung. Membalas jabatan tangan orang tadi dengan ramah.

Meletakkan cangkir teh hangat yang tadi dipegangnya ke meja. Mereka duduk di sofa yang berhadapan.

"Ga usah tegang-tegang. Hari ini saya akan bantu kamu untuk kenalan sama teman-teman lain di sini, ya. Kamu juga bisa keliling kantor untuk liat-liat", ujar perempuan itu menjelaskan, senyumnya masih tak sirna.

"Ah, iya Mba. Terima kasih", sahut Eva setelah disodorkan cangkir teh tadi.

Mereka mengobrol ringan sejenak sambil menikmati minuman masing-masing.

"Jadi, kamu kenapa resign dari PBSI, Va? Bukannya enak ya? Jadi bisa kenal sama atletnya, punya akses buat deket gitu"

"Haha, iya sih Mba Dev. Tapi ya mau gimana, dari awal memang saya ga sreg buat di sana. Saya kerja di sana juga karena ga sengaja kecebur"

"Haha, ga sengaja kecebur gimana maksudnya?", menggelengkan kepalanya keheranan.

"Ada-ada aja kamu. Udah yuk, kita keliling", tambahnya sambil berdiri dan mengajak Eva keluar ruangan. Berkenalan dengan berbagai ruang dan sudut kantor. Tak lupa, menyapa setiap orang yang nantinya akan bekerja sama.

"Oh, dari PBSI? Mantep dong! Kenal ya sama Jojo? Aduhhh, ganteng banget dia kalo diliat di TV. Apalagi aslinya kan, baik deh pasti. Eh, kalo Kevin?? Ya Tuhan, pasti gantengnya kelewat bates", seru seorang perempuan yang baru saja dijumpai Eva dan Mba Devi di meja kerjanya. Namanya Ayu, sedang sibuk mengetik naskah untuk segera diterbitkan. Tetapi sempat-sempatnya menyerocos begitu tahu, rekan barunya adalah orang yang bekerja di induk nasional olahraga tepak bulu itu.

"Hehe, bisa aja Mba", balas Eva dengan canggung. Tak habis pikir sebetulnya, mengapa dua orang tadi disebutkan dengan visual yang justru tak seperti dialaminya selama mengikuti mereka.

"Ah, elo. Urusan cowo ganteng aja gercep. Giliran liputan, angot-angotan", sindir orang lain yang baru saja datang. Tubuhnya cukup tinggi, berbadan sedikit gemuk, kulitnya sawo matang. Langsung duduk di kursi sebelah Ayu.

"Gue Anang", ucapnya kemudian. Eva tersenyum dan balas menjawab, "Eva. Eva Dwikurnia".

"Gausah kalem-kalem lo. Gue tau dari anak media lain yang sering liputan di Istora. Lo petakilan, kan?! HAHA"

Eva, lagi-lagi gadis itu justru bereaksi canggung. Dalam batinnya, mati sudah. Baru sehari bertandang dan berkenalan dengan seisi kantor ini, sudah ada yang mengenalnya dengan sisi tak baik itu.

"Gapapa, Va. Santai. Wartawan emang harus petakilan", sanggah Mba Devi dengan cekatan, ia menepuk bahu Eva dan kemudian mengajaknya pergi

"Lo berdua buruan kelarin naskah. Jangan ngerumpi!", tambahnya pada dua orang yang langsung kembali menghadap ke layar monitor di depannya.

"SIAP!", tegas mereka. Mengundang tawa bagi Eva dan Mba Devi yang kini kembali berjalan beriringan.

"Oke, selesai. Itu dia tadi keadaan di kantor ini. Lumayan bikin pusing ya sist. Tapi bisa dipastiin kalo kita semua di sini seru, kok. Jangan ragu buat berkawan. Jangan ragu juga buat minta bantuan kalo butuh. Dan lo bisa mulai kerja seperti kesepakatan, ya. Januari.", tutur Mba Devi setelah mereka tiba kembali di ruangan awal. Eva tersenyum. Penjelasan dari orang yang usianya mungkin tak jauh darinya itu sangat jelas. Dapat membuatnya tergambarkan bagaimana situasi nantinya.

"Siap, Mba. Kalau begitu, saya izin pamit"

"Silakan, Va. Oh, iya. Satu lagi, mulai sekarang sapaannya jangan saya-kamu lagi lah, terlalu kaku. Lo-gue aja biar makin akrab! Santai aja kita, yang penting kerjaan kelar"

Tawa mereka meledak singkat. Eva mengerti atas apa yang disampaikan atasan barunya itu. Ia kemudian benar-benar pamit untuk kembali ke rumah. Hari libur, menjadi hari yang dinantinya di tengah situasi penat. Bertemu dengan ayah, ibu, dan adiknya seakan menjadi obat. Masuk dengan mengucap salam. Disambut oleh dua orang di dalam rumah yang tampak sibuk di meja makan.

"Walah, pulang! Tumben, Nak? Ga liputan?"

"Engga, Bu. Lusa baru berangkat lagi"

Mengangguk. Tak ada pembicaraan.

"Dek, kamu ga latihan?", tanya Eva pada Fatiah yang sedang makan.

"Engga, libur Kak"

Mengangguk, "nanti ikut Kakak jalan-jalan, yuk? Mau ga?"

"Kemana?"

"Hmmm... ke mall, kita main di timezone"

Fatiah berseru girang. Menganggukkan kepalanya. Eva tersenyum. Sedangkan ibunya, justru bergeleng-geleng sambil ikut tersenyum. Melihat pemandangan kedua putrinya akur adalah hal yang luar biasa bahagia baginya.

"Makan dulu, Va", sang ibu berucap serasa memberikan piring dan sendok. Lekas, Eva menyendok nasi dan lauk pauk di hadapannya. Masih hangat, sangat membuat rasa laparnya membuncah.

Setelahnya, ia memilih masuk kamar, beristirahat sejenak. Melepaskan setiap penatnya, beban pikirannya, dan segala sesuatu yang menempel di kepala. Tetapi kemudian terpikir satu hal. Ia lantas mengambil ponselnya, membuka lalu mengirim sebuah pesan ke salah satu grup di roomchatnya. Dengan menarik napas dalam. Ia mengirimnya dan dalam waktu singkat, orang-orang di grup itu menyahut. Rasanya, Eva hendak menghilang dari muka bumi.

 Rasanya, Eva hendak menghilang dari muka bumi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi, gadis itu mengembus napas panjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi, gadis itu mengembus napas panjang. Telponnya langsung berdering berkali-kali setelah memberi kabar itu. Eva, serasa ingin menangis sekencangnya.

W.U.N.D.ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang