Chapter Twelve 🌟 Selalu Di Batasi Resiko Yang Sama

221 35 34
                                    

Bekerja sama dengan luka setelah terjatuh, akan menjadi omong kosong tergelap jika aku menyetujui. Entah bagaimana dia ingin menjelaskannya, tapi ketika instingku menemukan semesta paling berantakan di sana, aku mulai mengerti bahwa yang mengalami kesulitan menyapa sakit tidak hanya aku. Bahkan jika kubandingkan dengan kubangan garam laut di penjuru rasa perih, dia yang paling banyak menyimpannya dan membiarkan garam itu melukai lukanya. Tapi, kukira dia akan meringis, nyatanya aku yang lebih dulu meringis tertatih.

Aku bisa merasakan betapa hangatnya sebuah jingga yang menembus, serta menyoroti keberadaanku—juga Min Yoongi melewati pantulan jendela kelas di ujung sana. Sampai di mana, kala kuberdiskusi bersama frasa dalam pikiranku, kulihat Neko memutuskan untuk merapatkan kembali seluruh jemarinya, dan menyembunyikan benda melingkar itu. Dia agak terkekeh singkat, lalu beranjak.

"Kau sangat serius, padahal aku hanya bercanda," celetuknya, tanpa ingin menoleh ke arahku. Bahkan dia sampai menenggelamkan benda itu ke dalam saku celananya. 

Haha? Apa katanya? Bagaimana bisa suasana yang telah susah payah kuciptakan, lantas rusak hanya karena kebisingan yang tak seberapa di sana. 

Kulihat dia memutuskan untuk bergerak meninggalkanku, tapi sebelum itu dia melirikku sejenak. "Kau tepati janjimu, ya. Aku pulang. Sampai jumpa." Dia semakin menjauh, sembari melambaikan tangannya. 

Ah, kepalaku rasanya mau pecah. Aku tidak tahu jika Neko benar-benar sepandai itu untuk mengobrak-abrik seluruh perasaanku yang hampir saja kacau karena ulahnya sendiri. Aku sempat ingin menaruh sebuah perhatian yang pasti padanya. Tapi, dia malah bertingkah sebagai orang yang memang sudah kehilangan seratus persen kewarasannya itu. Tahu begini, aku seharusnya tidak segan untuk menendang bokongnya, menguliti tubuhnya, mengambil ginjalnya, bola matanya, atau apa pun, agar dia tidak perlu hidup hanya untuk merusak pikiranku. 

Tidak, tidak ada lagi kesempatan untuk membiarkan diriku terusik oleh satu manusia sialan itu.

—Cygnus Atratus—

June, 03 2020 

Ini aneh. Singgasana dalam suasana paling buruk, benar-benar meremasku layaknya aku adalah sebuah sampah kertas yang sudah sepantasnya terbuang. Logika malapetaka atas kemarin, membuatku setengah jengah dan kehilangan sebagian energi teramat mutlak yang terang-terangan kujaga. Tak kusangka, pertama kalinya aku tidak sudi menghamburkan rasa lelahku. Serba-serbi rentetannya, mampu mencekal seluruh tenaga, pikiran serta perasaanku, sampai-sampai aku tidak tahu bagaimana lagi cara untuk bernegosiasi dengan kuat.

Aku capek.

"Astaga, Youra! Kau tidak mau bangun juga?"

Ah, pekikannya—mengapa selalu sama? Kuntilanak itu tidak mau pulang atau bagaimana, sih?

"Hey! Seo Youra!"

Sial, berisik sekali. Padahal aku baru tertidur dua jam lalu. Mengapa rasanya matahari teramat memaksa waktu untuk bergulir cepat, seolah meminta pagi menguasai dunia sesegera mungkin. Mengapa hal begituan saja aku tidak mendapatkan keadilan?

Aku hanya mampu meringis, sembari menutupi salah satu telingaku. Kepalaku yang tengah bersandar pada sebuah meja, kutolehkan ke arah yang berlawanan dari sebelumnya. Aku masih tetap mendengar pijakan kaki milik Kak Acquila yang berusaha mendekat, bahkan dia dengan sengaja menghentak-hentakkannya seperti kesetanan.

"Ya! Seo Youra. Bagaimana bisa kau tertidur di atas meja, dan membiarkan laptopmu menyala?"

"Menyingkir dari kamarku, sialan," tegasku,  menghiraukannya.

Alih-alih mataku tetap menyahuti gelap, bahkan aku sampai berusaha untuk kembali tertidur. Tapi, bisingnya sebuah pergerakan yang kudapatkan di sekitarku, membuatku menyerah. Hingga, kusadari sebuah embusan napas menyergap daerah telingaku.

Cygnus Atratus || Min Yoongi Fanfiction ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang