Chapter Eighteen 🌟 Polonium Yang Pada Akhirnya Menjadi Bagian Sudut Duniaku

203 31 52
                                    

June, 09 2020

Rasanya seolah sepenggal jiwaku tidak pernah kembali untuk memenuhi kekosongan yang terus saja melingkup di dalam sana semenjak kemarin. Berulang kali mencoba menungkas segala kemelut suaranya yang tak ada henti-hentinya bergeming paksa di pelabuhan ingatan milikku yang hampir rusak. Rasa sengatan panas yang menderap, seolah masih ingin menetap cuma-cuma di kulit pergelangan tanganku. Keduanya menjadi lebam, tapi sebelah kanan paling dominan. Aku tersenyum miris memperhatikan.

Bibirku terangkat pasi, sejemang kedua sayup pandanganku menatap letih bekas resiko di pangkuan kedua pahaku. Semalam aku memutuskan untuk pulang, sama sekali tidak ada inginku untuk tetap bertahan di sebuah kerangka yang malah berusaha membuatku mati seketika. Sejujurnya aku menangis di perjalanan, bukan tanpa alasan hanya saja kedua tanganku terus menerus merenggut rasa perih dan panas. Bahkan aku tidak mampu menggerakan tulang-tulangnya karena akan terasa sangat sakit. Tapi, kupikir alasan yang paling besar adalah Min Yoongi yang berisik.

Rindu cahaya paling bersinar di sebuah pangkalan dunia luar dengan selewat angin mendayu—hampir menempuh pertengahan hari, berusaha mengikis suasana, dan menepuk kesadaranku. Jendela yang dengan sengaja dibuka oleh Ibu sedari pagi, sudut tempat tidur yang kusinggahi selama dua jam berlalu, hingga aroma cokelat panas yang suhunya telah menurun—tetap merebak memaksaku untuk sedikit saja meliriknya yang berada di atas nakas.

Kali ini berbeda, bukan lagi senin dengan hujan, bukan lagi senin dengan siasat mendung di rundungi kelabu, bukan lagi senin dengan sendu yang melulu. Hari ini jauh lebih cerah, dan anehnya aku tidak suka itu. Aku tidak suka ketika langit bahkan tidak bersedia menyentuh perasaan kacau balau yang kumiliki kini. Padahal aku sudah ingin menusuk kepalaku dengan sebilah pisau, aku sudah ingin mencabik ulu hatiku yang terasa nyeri tanpa sebuah presepsi yang masuk akal. Aku benar-benar tidak berhenti memikirkan apa yang di ujarkan oleh laki-laki paling buruk yang telah menjadi mangsa dari insting emosiku.

Aku sungguh tidak memahami apa yang dia katakan semalam.

"Youra, kau yakin tidak apa-apa? Apa sakitnya parah?"

"Aku baik-baik saja, Leechie. Aku hanya demam sedikit, mungkin karena kehujanan." Padahal sebenarnya hanya gerimis kecil.

Aku sejenak menarik ujung bola mataku untuk melirik pada sebuah benda pipih yang dengan sengaja kuletakkan di satu sisi keberadaanku. "Maaf sekali aku tidak bisa pergi kuliah, dan aku juga minta maaf tidak bisa bergabung denganmu untuk mengerjakan tugas kelompok kita," kataku pada Leechie di seberang sana.

Kudengar hening beberapa saat. Entah apa yang dipikirkan Leechie, tapi perasaanku sedikit tidak enak. Hingga aku yang juga sedang melamun, sempat menunggu lekas tersadarkan karena suara Leechie yang menggema lembut.

"Ya, tidak apa-apa, Youra. Aku harap kau cepat sembuh dan bisa kembali sehat. Lycia sangat merindukanmu." Leechie terkekeh singkat, membuatku tanpa sadar tersenyum. Gadis itu kemudian menambahkan lagi. "Kalau begitu aku tutup dulu ya, Youra. Aku akan memberikan rangkuman catatan kuliah hari ini padamu."

"Ah, terima kasih Leechie."

"Tentu, Youra. Cepatlah sembuh. Sampai jumpa."

Panggilan lantas terputus. Aku menghela napas lagi. Kali ini bahkan rasanya sangat berat sampai aku memutuskan untuk menidurkan seluruh tubuhku di atas tempat tidur dengan sedikit berhati-hati agar kedua pergelangan tanganku tidak memenuhi pergerakan yang kasar. Bentangan langit-langit kamarku seolah telah menjadi perantara bagi pikiranku yang ingin menengahi permanen cerita di hari kemarin dengan situasi yang kurasa sangat tergesa-gesa tidak karuan.

Jantungku yang masih berdebar begitu keras sanggup kurasakan sampai menembus belakang punggungku. Setiap bait ucap yang tak ingin di bantah kuat-kuat, terus merangkap lekat-lekat di pendengaranku. Lelah tak terhingga kala menghitung berapa banyak usaha agar setidaknya—walau hanya satu menit—dia menghilang atau bahkan lenyap dari pikiranku yang sudah selayaknya angin ribut yang berputar-putar sampai pusing, dan mual.

Cygnus Atratus || Min Yoongi Fanfiction ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang