May 05, 2020
Merangkum acak dari yang namanya kehidupan. Air mata, entah dalam bentuk kebahagiaan, atau bahkan tangisan. Melulu meradang seolah yang paling utama dan teratas untuk dilakukan setiap yang hidup. Ratusan kali—tidak, jutaan kali—mungkin juga sebenarnya hanya puluhan kali aku selalu berpikir mengenai frasa, "ah, tenang saja. Besok bukan kemarin." "Ah, tidak apa-apa, toh besok aku akan melupakannya." "Ah, jam dua belas malam sedang menunggu. Aku hanya perlu tertidur, dan bersembunyi dibalik esok."
Bersembunyi di balik esok—hanya sekadar bait berceceran abjad, tapi itu inti.
Seo Youra, 22 tahun yang sedang menjabat sebagai mahasiswa semester lima. Tidak ada kepentingan merah muda untuk bersemayam dalam kegiatan menjalani hidup, dan menghitung helaan napas tersisa. Hanya senang tertawa bersama teman, lalu kembali melukis khayal di seperempat malam, sembari bergumam melodi sendu. Juga, sedang menyukai bagaimana jelmaan fiksi hidup di dalam imajinasi. Di tuangkan dalam selembar aplikasi, hingga membiarkan penghuni serta merta tenggelam menyelami fiksi tersebut. Ah, ya, aku senang menulis sejak enam tahun lalu. Berawal dari pena, dan berakhir pada deretan abjad berteknologi.
Hari ini tidak ada yang berubah. Semuanya terlihat sama saja. Barangkali esok kejadiannya akan terulang seperti sekarang. Waktu baru saja menegur sang dosen untuk berhenti mengumbar cerita ompong, mengintimidasiku dan juga teman-temanku untuk segera menyelesaikan masalah yang dia berikan. Batas pengumpulannya minggu depan, tapi beliau sudah tidak sabaran.
"Youra, kau mau pulang? Tidak ikut?"
"Ah, kapan-kapan saja. Ibuku akan marah besar jika aku terlambat pulang hari ini. Apalagi karena sejak pagi aku tidak membantunya membersihkan rumah."
"Ah, begitu, ya. Baiklah. Semangat, ya."
Eoh, tentu, aku akan semangat. Dunia nenek tua itu agak memusingkan. Setitik debu terlihat saja, sudah memporak-porandakan isi dengan semestanya. Bukan, bukan begitu. Aku hanya bosan jika terus terusan mendapatkan sindiran yang menusuk ulu hati, sampai pengembala bulan saja terkadang ikut menangis riuh. Apalagi sampai menyalahkan benda mati—ponsel, misalnya.
Aku berusaha menarik presensiku sendiri untuk melangkah menjauhi singgasana berteori yang bagiku agak sesak. Namun, barangkali kedua biji perhatianku malah teralihkan pada yang paling berkilau di sudut ruangan. Dia selalu seperti itu jika sudah menuju senja. Entah apa yang dilihatnya, tapi tujuannya selalu sama, yaitu kosong. Matanya terpejam, sampai dua puluh detik (iseng saja aku menghitung.) Setelah itu, dia melirikku. Agak kikuk, maksudnya aku.
"Kau tidak pulang, Yoon? Kelas sudah sepi."
"Berisik."
Pffft, anti sosial. Renggut iblis dalam hatiku. Aku lantas tersenyum, enggan mengimbangi emosinya yang terbilang aneh bagiku. "Kalau begitu, sampai jumpa. Kau harus pulang, Yoon. Dah."
Tentu saja. Kepribadian hitamnya hanya diperuntukkan untukku tanpa alasan yang tepat. Ah, aku tidak mengerti. Tapi, beberapa orang yang mengenal laki-laki di sana pernah mengatakan padaku bila Min Yoongi adalah spesies manusia dengan dua jiwa.
Anehnya lagi dua jiwa tersebut seolah akan bertukar begitu cepat ketika bertemu denganku, bercengkrama denganku, atau malah hanya sekadar bersitatap. Dia akan mengajukan suaranya yang ketus, layaknya memintaku untuk menelan kubangan es kutub yang mencair. Hanya aku, hanya aku yang di perlakukan begitu. Padahal, aku tidak melakukan kesalahan apa pun padanya. Ah, iya, aku, kan tidak peduli.
Tunggu sebentar, kalau di pikir-pikir dia mirip dengan Neko—kucing liar yang berada di sekitar perumahanku. Lucu ya, tiba-tiba aku kepikiran.
—Cygnus Atratus—
Ada yang mampu bekerja sama, dan membuat perjanjian dengan ahli mimpi. Mungkin saja aku bisa bertukar nyawa, lalu memberikan seluruh mimpi indahku pada wanita di sana yang sedang berdiri enggan. Dia terlihat berseteru melawan takdirnya sendiri, menahan kegelisahan yang tak kunjung menemukan titik temu, perdebatan kecil dengan, apakah aku harus menangis atau tidak. Itu katanya yang kulihat dari ufuk semesta yang kini tengah menatap seseorang.
Seperti biasa, aku hanya akan terdiam, sembari merenggut kesal terhadap naif. Walau sudah beberapa tahun yang lalu kejadiannya, tapi seolah yang kulihat tidak pernah ada hari esok. Seseorang itu lantas berlalu setelah menciptakan negosiasi dengan Ibuku. Bahkan aku takut untuk menerima semesta yang baru saja di hancurkan, lagi dan lagi.
Kulangkahkan kedua tungkaiku dengan perlahan. Sedikit melukis jeda, siapa tahu Ibu sedang tidak ingin melihatku. Kubiarkan wanita itu masuk terlebih dahulu ke dalam suasana ternyaman, katanya. Padahal jelas, aku sangat ingin meruntuhkan bangunan tersebut.
"Aku pulang."
Ah, ternyata aku malah mengurangi perhitungannya. Ibu masih berdiri di dekat pintu masuk sembari memunggungiku, agak membuatku terkejut. Kepalanya menunduk, layaknya dia ingin berjerit, tapi tidak ada kesanggupan. Pundaknya rapuh, barangkali akan menjadi bubuk mesiu yang kapan saja bisa hancur, dan meledakkan diri. Lantas, dia menoleh, melihat keberadaanku dengan keberhasilan menyatukan semestanya kembali.
"Tumben sekali pulang cepat. Tidak main?"
Dia berjalan mendahuluiku, membuatku tanpa sadar mengikutinya. "Tidak. Ibu akan marah padaku karena aku belum membersihkan rumah."
"Masa, sih? Tenang saja, Ibu tidak akan marah. Sekalian saja bawa bajumu dan tinggal di rumah temanmu,"
"Tuh, kan. Iya, iya, aku akan membersihkan rumah sekarang."
Kudengar Ibu malah terkekeh dengan suaranya yang ringan. Kemudian, dia kembali menyeru namaku, kala aku hampir memasuki kamar. "Makan dulu. Ibu sudah menyiapkannya. Kau pasti tidak makan apa pun ketika di kampus."
Ragaku sejenak terdiam. Meraih seluruh titahan sederhana yang terdengar hangat. Selalu begitu, setiap hari selalu saja begitu. Ibu akan menyadari berapa banyak aku tersiksa oleh sesuatu, tapi pada dirinya sendiri, dia malah berusaha membuang celakanya. Walaupun aku tahu, itu tidak akan pernah berhasil.
Aku berangsur mendekatkan diriku pada keberadaan Ibu yang sedang duduk di atas kursi meja makan, sembari memperhatikan benda pipih miliknya. Aku lekas menarik salah satu kursi di hadapannya. Suaraku terdengar memecah keheningan sekitar.
"Wanita itu datang lagi, ya, Bu?" tanyaku.
Ibu berdeham singkat, lalu kemudian membalas. "Ya, terserah saja. Ibu tidak peduli. Toh, Ibu yakin, kok, dia yang salah, bukan Ayahmu."
Ah, lagi? Aku tersenyum kecut. Aku tidak tahu mengapa, hanya saja pembelaan Ibu terdengar menyebalkan, juga sangat berlebihan. Aku lantas bergerak menarik seluruh diriku untuk menghindari apa pun yang akan Ibu rentangkan dengan berbagai penilaiannya yang aneh. "Aku mandi dulu," tegasku, dan segera berlalu.
Lima, enam, tujuh, delapan, sampai usiaku belasan aku masih mampu menganggap bahwa kehidupanku hanya sekadar main-main saja. Aku tidak percaya adanya keterlibatan sebuah konflik di dalam duniaku. Aku juga tidak begitu peduli terhadap pertengkaran-pertengkaran yang terjadi setiap harinya di sekitarku.
Namun, semakin lama, usiaku bertambah, sedikit demi sedikit kusadari bahwa hal yang kuacuhkan ketika masa itu, memang telah merenggut kebahagiaanku sepenuhnya. Perundakkan kedewasaanku hancur begitu saja tanpa alasan yang tidak pernah mampu kujelaskan dengan baik. Hal yang kuabaikan ternyata sangat membekas, sampai aku tidak tahu bagaimana caranya aku menghilangkan goresan acak yang memang enggan tersusun rapi.
Tidak ada yang sanggup menyelami betapa dalamnya lautan hitam yang ada pada diriku. Bahkan, ketika aku ingin berusaha mengajak mereka menyelam, yang kutemui malah penolakan. Sampai akhirnya aku menyerah untuk berbagi lautan tersebut pada mereka, itupun termasuk Ibu dan kakakku. Aku berhenti di tempat yang kosong, senyap, dan sepi.
Aku sekadar memberanikan diriku ketika aku menorehkan setiap bait kalimat per kalimat pada sebuah halaman, di bohongi oleh pelaku utama dari rangkaian fiksi tak terjamah. Sekiranya dari sana, aku akan menemukan mereka yang ingin menyelam bersamaku, walaupun kemungkinan besar, mereka juga menolak.
—Cygnus Atratus—
KAMU SEDANG MEMBACA
Cygnus Atratus || Min Yoongi Fanfiction ✔
Fanfic(END-WARNING!! SETIAP PART PANJANG2. BAHASANYA BELIBET. BIKIN MIKIR KERAS!! CERITA INI TERDIRI DARI 3 BAGIAN YANG MEMUAKAN. PUSING DENGAN SEGALA TINGKAH DILUAR NALAR DARI SETIAP KARAKTER BAKALAN BIKIN KAMU BOSAN. POKOKNYA CERITA INI KHUSUS BUAT KAMU...