18. H-1

1.5K 107 9
                                    

Persiapan pernikahan sudah mencapai 90 persen. Dengan presentasi yang hampir rampung itu, kedua calon mempelai sibuk melakukan fitting baju pernikahan. Rindu ditemani mamanya mencoba gaun pernikahan yang hampir jadi.

Seharusnya Rindu dan Reza melakukan fitting bersama ibunya Reza juga. Hanya saja Mami Sandra sedang ada halangan yang menyebabkan beliau tidak bisa menemani keduanya.

"Kata mama udah cocok sama kamu dek."

Rindu menatap pantulan dirinya pada cermin panjang didepan mereka.

"Bagian depan terlalu rame. Apa bisa dikurangin hiasnya gak mbak?" tanya Rindu.

"Tentu boleh kak Rindu. Apa ada lagi yang perlu diubah atau ada yang kurang?" Rindu menjawab dengan gelengan pelan.

"Selebihnya sudah pas."

"Baik kak. Kalau begitu saya permisi terlebih dulu." angguknya pamit.

Sekepergian pegawai itu, Rindu yang dibantu mamanya menanggalkan gaun serba putih nan cantik yang yang ia kenakan.

Bersamaan dengan resleting yang ada di punggung lolos sampai bawah, Rindu dibuat kelabakan dengan refleks tubuh yang berbalik membelakangi pintu masuk ruangan.

"Reza! Bisa gak sih ketuk atau salam dulu sebelum masuk?!" kesal Rindu pada cowok itu. Bagaimana tidak kesal, kalau dia sudah minim pakaian dan Reza nyelonong begitu saja, apa tidak malu seumur hidup Rindu. Meskipun lelaki itu calon suaminya, tapi tetap saja mereka belum boleh memperlihatkan hal yang tidak seharusnya. Bukan mahram.

"Maaf Sayang. Aku pikir kamu gak lagi buka baju. Lagian lama banget akunya bete di luar sendirian." Rindu melengos masih dengan wajah juteknya yang kentara sekali masih menyimpan jengkel. "Atuh sayang maaf ih. Jangan cemberut." pinta Reza. Dia mana tau akan masuk diwaktu yang tidak tepat.

Lagipula kenapa pihak perempuan bagian fitting begini lama banget ya? Reza saja sudah selesai dari satu jam yang lalu. Makanya dia termakan bosan duduk menunggu di luar sendiri.

"Ini aku juga niatnya mau kasih cemilan sama minum buat mama sama kamu kok. Aku taro ya. Dimakan ya Ma." katanya sopan pada Winda.

Mama Rindu mengangguk menjawab niat baik calon menantunya itu.

"Yaudah aku keluar aja deh, nunggu di mobil. Sebentar lagi kan Ma?"

"Iya. Ini tinggal lepas gaunnya aja."

"Reza tunggu di mobil ya Ma. Sayang, aku keluar ya?" pamitnya dan menutup pintu kembali rapat.

"Tuh, Ma, Reza tuh gitu orangnya. Nyeselin banget." adu Rindu pada ibundanya.

Winda yang melihat kekesalan yang tergambar jelas di wajah sang putri mengelus kepala Rindu penuh kasih.

"Reza gak sengaja Sayang. Niat dia baik lho, mau ngasih makanan buat kamu sama mama. Pengertian dia tuh." biarpun begitu, Rindu masih dongkol dibuat Reza. Hal itu membuat Winda menggelengkan kepalanya memaklumi percikan masalah muda-mudi itu.

Beberapa menit kemudian, Rindu selesai berganti pakaian.

"Oiya sayang, jadi mau potong rambut?" pertanyaan sang Mama menghentikan pergerakan Rindu yang sedang membereskan Tote bag hitam miliknya.

Diam sejenak. Rindu hampir saja lupa bila tak ingatkan.

"Jadi kok Ma." jawabnya lesu.

"Kok kaya sedih gitu? Uhm, Reza gak paksa kamu buat potong rambut kan Sayang?" layangan sangsi yang dilontarkan Winda mendapat gelengan cepat Rindu.

"Engga kok Ma. Ini maunya Rindu sendiri. Dan gak ada sangkut pautnya sama dia. Lagipula dia belum ada hak nyuruh-nyuruh Rindu kalo pun iya."

"Iya sih. Cuma mama aneh aja. Setau mama selama ini kamu kan suka banget rawat rambut biar panjang. Kok tiba-tiba mau dipendekin? Apa gak sayang?" perkataan mamanya makin membuat Rindu sedih akan keputusan.

Tapi tidak. Gadis itu bergeleng cepat. Pendiriannya sudah teguh. Lagi pula ia tidak ingin menjadi orang yang ingkar dengan janji. Bila janji pada diri sendiri saja sudah berani melanggar, bagaimana nanti ke orang lain? Rindu tidak ingin menjadi manusia yang seperti itu.

"Insyaallah Rindu ikhlas Ma." ucapnya lebih pasti.

"Ya udah, kalo memang itu keputusan kamu mama akan dukung selagi itu gak melanggar norma dan agama."

Lalu ibu dan anak itu pun melenggang keluar dari butik.

•••

Semakin mendekati hari H, perencanaan pun semakin matang. Bahkan gedung yang mereka sewa sudah terlihat sempurna dengan dekorasi yang memanjakan mata.

Di H-1 pernikahan, Reza terlihat sangat gugup. Tak pernah terbayangkan olehnya akan merasa degup jantung yang seolah ingin pecah ini. Dirinya tiba-tiba sering didera kegelisahan yang ia pun bingung menanggapinya.

Bibirnya sedari tadi tak henti-hentinya melafalkan ijab kabul agar tidak melakukan kesalahan ketika nantinya tiba.

"Komat-kamit Mulu lu Za. Sebat dulu sebat, biar tenang." Raksa menegur temannya yang sedari tadi terlihat tidak jelas dengan wajah tegangnya.

"Hah. Buset bener dah. Gak dua kali gue mau nikah gini. Jantung gue rasanya udah kaya ditabokin kek beduk mushola."

"Kenapa gak beduk masjid aja sih?" Nestor menyambut asal.

"Yang deket rumah gue mushola."

"Tapi bilang aja kek masjid. Biar lebih afdol perumpamaannya." Nestor sambil sesekali mengembuskan asap dari mulutnya.

"Kenapa jadi ributin itu sih tolol? Gak jelas lu pada." Wiga berkomentar.

"Iya lu gak jelas. Lagian beduk mah di tabuh. Bukan di tabok bego." Gugun tertawa ngakak. Yang saking besarnya berujung batuk yang keras.

Keikutsertaan Gugun itu bukannya menormalkan pembahasan absurd yang lain, nyatanya malah menambahkan kegilaan. Aiden yang kebetulan masih memiliki kedua telinga yang berfungsi baik mau tidak mau harus mendengar percakapan tak berguna teman-temannya. Entah dosa apa yang sudah diperbuatnya hingga harus duduk diantara mereka semua. Sepertinya sehabis dari sini dirinya harus tolak bala.

"Tapi udah hapal kan Za? Elah, dikit doang gitu." Reza menatap Unus.

"Hapal mah udah. Gue takut doang lidah gue belibet."

"Enak tuh belibet. Apalagi pas malam pertama." Nestor menyambar lagi.

"Yo pasti dong itu mah." Reza menggidikkan dagunya menanggapi Nestor.

Omong-omong, saat ini mereka sedang berkumpul di kamar Aiden yang berada di lantai tiga. Aiden itu kaya boss.

"Tapi Za, gue penasaran deh. Rindu kan tertutup ya, kalo pas kawin bakal dilepas gak?" Nestor sih tukang tanya dengan kapasitas otak seper-enam. Bahkan mungkin lebih minim dari itu.

"Lah itu mah bebas si Rezalah. Dia maunya permen yang pelan-pelan dibuka bungkusnya, atau mau kado yang disobek kertas kadonya. Tapi kayaknya sih enak yang pelan-pelan." Raksa sok berujar benar.

Aiden memasang wajah jengah, merotasi mata.

Ini bocah-bocah isi otaknya emang dibawah nalar manusia. Sial sekali ia hidup dengan circle tak normal seperti mereka.

Di luar sana Aiden doakan tidak ada lagi jenis Nestor dkk. Jujur, Aiden gemas sekali ingin menjenggut rambut kelima temannya untuk ia adu satu sama lain sekeras-kerasnya secara berulang-ulang. Harapannya satu. Sembuh. Kegilaan mereka sudah diambang batas. Sekali kena angin juga nyungsep. Jatuhnya mereka semua sudah tidak waras.

Dasar edan.

"Gak sopan lu semua. Lo juga Za. Bukannya marah Rindu diomongin sama bahasan saru kek gitu, ini Lo malah diem aja. Serius gak sih Lo sama Rindu?"

"Oh jelas serius dong. Gue bukannya gak marah sih Den. Gue diem tuh karna lagi mikir aja." Aiden mengangkat sebelah alisnya menunggu alasan sebenarnya. "Besok malam gue pake celana dalem kaya biasa gak ya? Soalnya gue suka yang ada bordiran nama gue gitu. Biar malam pertama gue berkesan. Tapi gue gak tau Rindu lebih suka warna apa." ia nampak serius sekali berpikir.

"Ya Lo tanyain aja. Repot amat." Reza menoleh pada Nestor.

"Iya juga ya. Pinter Lo kadang-kadang." kedua orang pintar itu saling mengumbar senyum.

Ada yang mau culik Aiden saat ini juga? Kalau ada, lewat jalur kilat ya. Aiden sudah tidak sanggup.

Rindu RezaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang