03 - Kepemilikan

256 209 50
                                    


Siapa yang tidak tau kedekatan Zein dan Zara di sekolah, bagaimana posesifnya seorang Zein Alaska. Tidak ada cowok yang berani mendekati Zara, kecuali dia memang sudah tidak menyayangi hidupnya.

"Beneran boleh minta nomer hp lo?". Tanya Alden sembari menatap dalam kedua manik mata Zara.

"Kenapa sih? Lo kayak takut gitu". Zara memicingkan matanya melihat orang - orang yang menatap mereka berdua aneh. Termasuk Alden yang kembali tertunduk dalam.

'Orang - orang pada kenapa sih? aneh banget'.

"Yaudah cepetan mana hp lo, gue kasih nomer gue." Zara mengulurkan tangannya, dengan ragu Alden memberikan ponsel miliknya. Belum sampai ditangan Zara, ponsel itu sudah diambil alih oleh seseorang dan membantingnya.

"Zein". Zara mendongak menatap pelakunya, terlihat Zein sudah menatapnya penuh kilat kemarahan. Namun beberapa detik kemudian pandangan Zein menoleh kearah Alden yang sudah gemetar ketakutan.

Zein menarik kerah seragam Alden dan menghajar pipinya, membuat ia tersungkur dilantai. Meringis sakit.

"Zein!". Teriak Zara.

"Diem!". Bantah Zein. Ia kembali menarik kerah Alden dan membuatnya berdiri.

"Punya dua nyawa ya". Ujar Zein dengan senyum smirknya.

"Eng-enggak Zein, gue cuma-". Belum selesai menyelesaikan ucapannya, Alden sudah kembali mencium lantai. Dengan darah disudut bibirnya.

Zara berniat untuk menolong Alden namun Zein menahan lengannya, membuat tatapan mereka bertemu. Zein menarik tangan Zara berniat mengajaknya pergi.

"Tapi Alden-"

"Udah Ra, biar kita yang urus".Ujar Reno yang dijawab anggukan oleh Victor.

Penjuru koridor seketika hening ketika Zein menarik tangan Zara membawanya ke kelas. Ia mengantar Zara sampai kebangkunya dan menyuruhnya untuk duduk.

"Zein, gue-"

"Ra, susah banget ya nurut sama gue".

"Maaf". Ujar Zara lirih. Gadis itu tertunduk dalam dan melihat Zein berjalan keluar kelas tanpa sepatah kata.

Kelas masih menyisakan hening sejak kepergian Zein. Namun itu tidak berlangsung lama,mereka kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tidak mau ikut campur dengan urusan Zein, karena akan fatal akibatnya.

"Ra, lo habis melakukan kejahatan ya?. Si batu kelihatan marah banget". Tanya Eca.

Salsa terlihat mengetuk dagu dengan jarinya, memikirkan sesuatu. "Atau jangan-jangan, lo selingkuh ya?".

"Hah? selingkuh? wah parah Ra. Kok Lo berani sih?". Imbuh Vera.

Zara memijat pelan pelipisnya, pusing mendengar banyak ocehan dari sahabatnya. Kemudian ia bersandar pada kursi dengan tangan bersidekap didada.

"Dengerin ya. Gue nggak melakukan kejahatan apapun, aneh banget sih kalian. Selingkuh?, gue sama Zein itu nggak pacaran". Ujar Zara dengan penekanan pada kata terakhir.

"Lah terus, ngapain Zein bisa semarah itu Ra?". Tanya Salsa.

"Kalo itu, gara-gara tadi gue mau ngasih nomer hp gue ke Adit". Jawab Zara sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Eca menepuk jidatnya,kemudian menggelengkan kepalanya pelan.
"Ra? lo masih nggak ngerti? Zein itu cemburu!".

Ha? Zara menganga tak percaya.

"Nggak mungkin lah, kita itu cuma temen".

"Susah banget ngomong sama orang yang susah peka kayak lo". Cibir Eca.

"Hah? Apa lo bil-"

"Selamat pagi anak - anak". Ucapan Zara terpotong karena Bu Santi berjalan memasuki kelas. Pelajaran sudah akan dimulai tapi Zara masih bergelut dengan perkataan sahabatnya.

'Aku hanya takut menaruh rasa pada tempat yang salah, tidak ingin semua berakhir dengan patah'.

• • •

Zara masih terdiam menatap bekal nasi goreng didepannya, kemudian menatap lurus kearah lelaki dihadapannya yang sedang menatapnya intens.

Saat ini hanya ada mereka berdua didalam kelas, karena semua orang tidak ingin mengganggu Zein. Tidak ingin terlibat dalam urusan apapun. Sepertinya most wanted itu memang sangat berpengaruh di sekolah.

"Tangan lo tuh dimanfaatin. Cuma liatin pake mata juga nggak bakal masuk nasinya". Ujar Zein dingin.

Zara masih terdiam, kemarahan Zein ternyata masih belum reda. Takut, hanya itu yang dirasakan gadis itu saat ini.

"Masih nggak mau makan?!"

Zara masih terdiam, ia menggigit bibir bawahnya.

'Apa gue pura-pura pingsan aja ya, biar Zein nggak marahin gue lagi'.

"Nggak usah pura-pura pingsan, nggak akan ngaruh ".Lelaki itu bersandar pada kursi dengan tangan yang bersidekap didada.

'wahh cenayang nih orang'

"Zein, aku nggak lapar" Ujar Zara lirih. Siapa juga yang masih mood dengan perlakuan Zein saat ini. Hanya saja Zara tidak berani jujur, ia takut.

"Apa mau gue panggilin Alden?" Tanya Zein dengan senyum smirknya.

Namun gadis itu menggeleng cepat. Ia segera mengambil bekal yang dibawa Zein dan segera melahapnya. Zara tidak ingin ada masalah lagi, sudah cukup dengan Alden. Hal itu benar-benar membuat gadis itu merasa sangat bersalah.

'Alden gimana ya, semoga dia ngga marah sama gue. Ntar siapa yang mau nyontekin gue lagi :('

"Pelan-pelan makannya, gue nggak minta kok". Ujar Zein mulai lembut. Tangannya terangkat membersihkan nasi yang berada disudut bibir gadisnya.

"Mm, Zein. Aku minta maaf. Jangan marah lagi ya". Ujar Zara pelan.

"Hm"

Perkataan Zara membuat lelaki itu tersenyum lembut. Ia mengelus pipi kiri Zara kemudian mengacak rambutnya.

"Lo udah tau kan kalo gue marah itu gimana?. Jadi jangan pernah mancing kemarahan gue lagi".

Zara mengangguk pelan.

'Iyalah Zein, masalahnya nyawa orang taruhannya!'

"Jangan deket-deket sama cowok lagi. Ngerti?".

"Iya".

"Jangan pernah ngasih nomer lo buat orang yang nggak penting".

"Iya".

"Jangan iya-iya doang".

"Iya Zein, gue ngerti". Ujar Zara kesal. Namun beberapa detik kemudian ia tersadar atas kesalahannya.

"Hh, 'gue'?". tanya Zein.

"M-maaf nggak sengaja. Iya Zein, aku ngerti".

'Salah mulu dah'

Lelaki itu tersenyum kemudian berdiri dari duduknya.
"Gue ke kelas dulu".

'Nahhh dari tadi kek'

Setelah mendapat anggukan dari Zara, ia melenggang pergi keluar kelas.

"Hufftt...akhirnya. Gue bisa napas dengan tenang". Zara menghela napas lega.

• • •

ZeinaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang