20 - Rumah?

132 99 89
                                    


Rumah dengan keluarga yang harmonis adalah impian yang tidak pernah didapatkan oleh Zein Alaska. Ia memang mempunyai segalanya, semua kebutuhan materi tercukupi sejak dini. Andai orang tua Zein tahu, apa yang diinginkan Zein selama ini.

Zein memang pulang ke rumah tapi tak merasa pulang, di rumah justru membuatnya semakin merasa tidak berarti. Andai hal itu tak pernah terjadi, andai insiden itu tak pernah ada mungkin hati Zein tak akan seburuk ini.

Lelaki itu berjalan masuk ke rumah setelah pulang sekolah, yang menjadi kebiasannya adalah menatap seisi rumah bernuansa mewah itu dengan lengah. Namun Zein tetap tersenyum saat Mbok Iyem datang dari dapur menyambutnya, wanita paruh baya itu datang dengan senyum hangatnya.

"Mau makan? Biar mbok buatin" tanya Mbok Iyem.

Zein menggeleng, "Enggak, Zein udah makan tadi. Raya dimana?"

"Non Raya ada di kamar Zein, kayaknya lagi baca buku deh"

Zein mengangguk lalu berpamitan dengan Mbok Iyem untuk pergi ke kamarnya. Langkah lelaki itu berhenti saat melewati kamar Raya yang pintunya tidak tertutup, gadis itu terlihat fokus dengan buku-buku yang ada dihadapannya.

'Tok tok tok'

"Eh Zein, ayo masuk" ujar Raya senang. Gadis itu tersenyum saat Zein berjalan kearahnya dan duduk disampingnya.

"Lagi baca apa?" tanya Zein.

"Oh ini, novel. Bagus banget. Kemarin aku hampir aja kehabisan novel ini, tapi untung aja ada orang baik yang mau ngasih buku ini buat aku" ujar Raya sembari meraba sampul buku itu. Zein tersenyum, akhirnya sekarang bisa melihat senyum itu lagi diwajah pucat Raya.

Pandangan Zein beralih pada novel itu, membaca memang hobi Raya sejak kecil. Gadis itu bahkan sudah mengoleksi banyak buku-buku di rumahnya, sama seperti Zara.

'Siapapun lo yang udah ngasih buku ini buat Raya, makasih ya. Lo udah bantu gue buat ngembaliin senyum itu'

"Zein" panggil Raya. Zein mendongak, menatap kedua manik mata gadis itu lembut.

"Aku pengen sekolah, aku bosan di rumah terus" ujar Raya lirih.

Zein tersenyum, tangannya terangkat mengelus puncak kepala Raya, "Makanya, lo harus semangat buat sembuh Ray. Gue yakin nanti lo pasti akan bisa kayak dulu lagi"

"Apa aku akan sembuh Zein?" tanya Raya.

"Iya, yakin aja Ray. Kita akan melakukan yang terbaik" jawab Zein mencoba menenangkan gadis itu.

Zein tersenyum tipis kemudian beranjak dari duduknya, saat akan melangkah Raya menahan lengannya. Zein menoleh, menatap lengannya yang disentuh oleh gadis itu.

"Zein" ujar Raya sembari berdiri, menatap manik mata Zein dalam. Menggenggam erat jemari lelaki itu.

"Gimana kalau, kita.. nikah secepatnya" ujar Raya.

Zein refleks langsung menjauhkan tubuhnya, melepas tautan tangan mereka. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, semua terasa tak nyata baginya.

"Nggak, gue nggak bisa" ujar Zein cepat.

Raya yang awalnya tersenyum langsung memudar begitu saja, tatapan lembut itu berubah menjadi sendu. Gadis itu menunduk, menatap tangannya yang terlepas dari genggaman Zein.

"Kenapa Zein? Mungkin dengan kita menikah aku akan bisa sembuh dengan cepat" ujar Raya meyakinkan. Namun lagi-lagi Zein menggelengkan kepalanya dan melangkah mundur.

"Bukannya kamu sayang sama aku?" tanya Raya lirih.

"Karena lo sahabat gue dari kecil, Ray" ujar Zein dengan tegas, bahunya naik turun menahan amarah yang selama ini ia pendam.

ZeinaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang