19. Surat Untuk Langit

129 16 4
                                    

Rasa itu terkadang rumit. Sulit dimengerti dan tidak bisa dikendalikan. Yang paling rumit di antara semua adalah rindu, katanya cuma ada satu penawar, yaitu bertemu.

-Pesawat Kertas-

Selamat membaca~
...
...
...

Itu Shaka. Berdiri di depan pagar rumah Kana sambil menunduk mengayunkan kaki menendang kerikil kecil untuk mengisi waktu.

Kana masih berada di bawah naungan atap teras rumahnya, merapatkan jaket. Ia menghela napas, perasaannya berkecamuk antara sedih dan senang.

Sedih karena obrolannya dengan Papa tadi, dan senang karena sosok yang menghilang seminggu itu muncul kembali.

Miaw!

Shaka berjongkok saat seekor kucing berbulu cokelat mendekat dan berputar di kakinya sebelum mengusap-usapkan bulu lembutnya pada kaki Shaka.

Kana mengernyit, bahkan di saat seperti ini ia tetap kalah dengan Cilo. Ia mendesis, lalu melangkah cepat menghampiri Shaka sebelum Cilo semakin bermanja dan membuat Shaka lupa alasannya datang ke sini.

"Shaka."

Shaka menoleh, lalu beranjak. Cowok itu tersenyum tipis melihat Kana yang kini berdiri di depannya dengan setelah training hitam dan jaket cokelat muda yang tidak begitu tebal.

"Selamat malam, Kana," sapanya, seolah tidak terjadi apa-apa sebelum ini.

Kana menyipitkan matanya, memerhatikan Shaka dari atas sampai bawah. Tidak ada yang aneh dari cowok itu. Tidak ada tanda-tanda penculikan atau luka parah.

Kalau luka lecet dan goresan memang selalu ada, bahkan ada plester baru yang menempel di sisi kiri dagu cowok itu. Entah dari mana Shaka mendapatkan luka-luka seperti itu.

"Kenapa?" tanya Shaka. "Kenapa nangis?"

Kana tersentak, ia buru-buru mengusap air mata yang benar-benar mengalir di pipinya. Kana juga tidak mengerti, ada perasaan aneh yang tidak bisa ia kendalikan saat melihat Shaka di sini dan baik-baik saja.

Shaka berjongkok lagi dan mengusap kepala Cilo, lalu kucing itu pergi seolah mengerti perintah yang diberikan Shaka.

Kana tidak ada tenaga sekedar untuk bersorak senang karena merasa menang, kali ini Shaka seakan berada di pihaknya.

Salah tidak kalau Kana berpikiran Shaka sengaja meminta Cilo pergi agar mereka hanya bisa berdua, tidak diganggu.

"Kenapa minta ketemuan?" tanya Kana, entah kenapa nada bicaranya menjadi judes.

Sebenarnya masih ada rasa kesal yang terselip di sela rasa senangnya bertemu lagi dengan Shaka, siapa suruh menghilang tiba-tiba, datang juga tiba-tiba dan langsung ngajak ketemuan.

Memang dia siapa?

Huft. Dia cowok yang bikin Kana uring-uringan tidak jelas seminggu ini sampai-sampai menekan ego dan akhirnya mau menafkahi Cilo. Terpaksa, sih.

"Gue kemaleman, ya?" tanyanya balik.

"Mending kemaleman dari pada enggak sama sekali," jawab Kana pelan, namun Shaka mendengarnya.

Cowok itu tertawa kecil tanpa Kana tahu alasannya. Kalau yang di depan Kana ini bukan Shaka, melinkan Ren, Kana pasti akan menendangnya sampai nyangkut terbalik di atas pohon.

Tapi karena sekarang sedang berhadapan dengan Shaka, semenyebalkan apa pun, emosi Kana selalu bisa dikontrol. Bahkan rasanya tidak akan bisa mengamuk pada cowok ini.

Kenapa, sih, doi juga bukan.

"Mau jalan-jalan sebentar?" tawarnya setelah melihat waktu pada ponselnya, masih pukul delapan lebih lima belas.

Pesawat Kertas [SELESAI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang