38. Kebenarannya

104 11 0
                                    

Your mom loved you very very much even more than she loved herself

~Pesawat Kertas~

Selamat membaca

***

"Kana?"

Kana memutar kepala ke arah pintu, ia sedang belajar saat pintu kamarnya diketuk dari luar. Itu Papa, dengan suara lembut memanggil nama putri tunggalnya.

"Kamu udah tidur?"

Bukannya menjawab, Kana malah menunduk. Bingung harus melakukan apa. Kana tau Papa khawatir, tapi ia masih takut karena tadi Papa marah setelah tahu luka terbuka di dahinya. Sampai-sampai acara makan malam yang sudah direncanakan pria itu harus ditunda.

Membicarakan soal makan malam, harusnya hari ini Papa, Kana, dan wanita yang katanya adalah calon mama Kana akan makan malam bersama. Sekalian mengenal satu sama lain kalau kata Papa. Tapi karena melihat luka itu, Papa mengurungkan niatnya. Pria itu sempat mendiami Kana karena tidak mau amarahnya meledak. Tapi diamnya Papa malah membuat Kana takut.

"Kana, Papa mau bicara."

Mendengar pria itu memohon, Kana akhirnya bergerak. Ia melangkah menuju pintu dan menghela napas panjang sebelum memutar knop.

"Kamu belum tidur, kan?"

Kana menggeleng pelan. Papa tersenyum membalasnya, tangannya terulur mengusap puncak kepala Kana.

"Boleh Papa masuk?"

Kana mengangguk lagi, lalu membuka pintu lebih lebar. Ia masuk lebih dulu, diikuti Papa yang kini berjalan ke arah nakas. Papa tersenyum melihat figura berisi foto keluarga mereka dulu. Ada Papa, Kana kecil, dan Mama.

"Mama cantik banget, kan," kata Papa. "Mirip sama kamu."

Kana duduk di kursi belajarnya yang diputar membelakangi meja, ia menatap Papa yang kini menyorot sendu foto di figura kecil itu.

"Kamu kangen Mama, sayang?" tanya pria itu.

Kana menunduk. Sangat. Ia sangat rindu sosok Mama. Wanita itu telah meninggalkan mereka hampir lima tahun. Rumah terasa sepi dan mati setelah Mama pergi. Bahkan saat Papa menyewa asisten untuk merawat Kana yang saat itu masih kecil, tidak mampu membuat Kana merasa mendapat perhatian cukup yang harusnya ia dapat dari sosok Mama.

"Kana, lihat Papa."

Saat Kana mendongak, Papa sudah berdiri di depan cewek itu. Papa membungkuk untuk menyejajarkan wajah dengan Kana.

"Kamu keberatan dengan rencana Papa untuk menikah lagi?" tanya pria itu. "Kalau Kana keberatan, Papa akan batalkan."

Kana kaget, ia menggeleng cepat namun belum buka suara. Bingung harus mengatakan apa. Ada dua perasaan berkecamuk dalam dirinya. Satu sisi tidak ingin ada orang lain yang menempati posisi Mama Kinanti dalam keluarga mereka, di sisi lain Kana tidak ingin egois pada Papa.

Selain Kana, Papa juga butuh seseorang di sampingnya. Seseorang yang memberi perhatian dan merawat Papa seperti yang dulu selalu Mama berikan. Papa selalu ada untuk Kana, menjadi sandaran, pendengar, dan alasan Kana menjadi kuat bertahan hidup hingga sekarang. Papa adalah alasan Kana.

Sementara Papa? Pria itu juga butuh seseorang yang bisa dijadikan sandaran. Tempat berkeluh kesah, berbagi susah dan sedih. Papa tidak mungkin menumpahkan keluhannya pada Kana, itu hanya akan membuat Kana terus merasa bersalah. Atau malah menganggap dirinya beban karena sama sekali tidak bisa membantu Papa yang selalu ada untuknya.

"Tante Herlina itu teman Papa dan Mama, kami sekolah di SMA yang sama," kata Papa. "Waktu Papa menikah sampai kamu lahir, Tante Herlina sering main ke rumah karena Mama kamu yang minta. Mereka sering tukar cerita, bahkan sampai membahas soal kamu dan anaknya Tante Herlina yang harus sekolah bareng juga, biar bersahabat."

Pesawat Kertas [SELESAI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang