Bagian Satu

716 72 2
                                    

"Kau memilih aku sebagai jodohmu, tapi aku memiliki pilihan sendiri siapa jodohku. Jangan berharap banyak, aku hanya memenuhi tugasku sebagai seorang anak."

Sungguh, kalimat itu membuat duniaku runtuh seketika. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa?

🌵🌵🌵

Dulu, semasa awal masuk madrasah, Babah pernah berkata kepadaku, "Kalau nanti ada orang yang baik agamanya datang melamarmu, jangan ditolak. Apalagi jika ia berasal dari keluarga baik-baik pula. Dan pastikan, kamu juga memiliki ketertarikan akannya. Jangan dipaksakan apabila hatimu tidak berkenan." Sebuah nasihat dari seorang ayah pada putrinya.

Kala itu, aku terkekeh mendengarnya. Ada-ada saja, umurku bahkan baru menginjak usia lima belas, tapi Babah sudah bicara pasal pasangan hidup. Bahkan nasihat tentang kewajiban seorang istri agar berbakti pada suami juga senantiasa beliau sampaikan. Bagaimana istri-istri rasulullah yang sangat berbakti, bagaimana Siti Aisyah yang sangat menghormati suaminya, dan bagaimana Amak yang tidak pernah membuat Babah merasa kesal apalagi marah.

Aku memang tidak terlalu banyak mengingat sosok Amak. Kenanganku bersamanya hanya sampai usiaku menjelang sembilan. Setelah kepergiannya yang dijemput oleh malaikat, maka malaikatku hanya tinggal Babah seorang. Ingatanku bersamanya kian menipis setiap harinya. Namun, senyuman dari sosok yang selalu tersenyum untukku dan Babah itu adalah yang paling aku ingat. Amak tak pernah berkata dengan nada tinggi. Bila beliau sedang kesal, hanya air mata yang menjadi pertanda. Lalu, Babah akan mengusap rambutnya dan kemudian menghiburnya dengan nada yang sengaja dibuat lucu. Aku masih ingat dengan sangat jelas.

Kini, aku baru menyadari perkataan dan nasihat-nasihat Babah. Saat hadirnya hanya ada dalam anganku, saat sosoknya yang tak lagi bisa memelukku. Beliau pergi tepat ketika aku berlari pulang ke rumah sambil membawa piala penghargaan atas kerja kerasku saat mengikuti olimpiade matematika. Bendera putih, para tetangga yang tengah memasang tenda, lalu Laela sahabatku yang tiba-tiba menghamburkan dirinya untuk memelukku adalah hal-hal yang tak pernah lenyap dari ingatanku di setiap hari Jumat. Babah pergi untuk selama-lamanya.

Kemarin, Bu Fatia datang bertamu ke rumah Acik, adik Amak yang paling kecil, dan mengutarakan maksudnya. Beliau adalah teman baik Acik. Beliau juga sering membantu bila Acik sedang kesusahan. Bahkan, tak jarang Acik jadi merasa segan. Hidup selama lima tahun bersama Acik, ada banyak cerita yang kami bagi. Acik hanyalah seorang janda tanpa anak. Suami dan anaknya meninggal bersamaan dalam sebuah kecelakaan saat aku kelas dua madrasah. Ada yang bilang, akulah penyebabnya. Tak jarang aku mendengar omongan tentang diriku yang pembawa sial.

Namun, Bu Fatia ternyata tidak menggubris hal-hal seperti itu. Bahkan kedatangannya kali itu benar-benar tak pernah aku bayangkan sama sekali. Sungguh, aku tidak pernah menyangka masa itu datang secepat ini. Di kala usiaku yang baru genap dua puluh tahun, tepat ketika awal libur semester tiga dimulai.

"Lula, kamu tahu kalau Ibu sayang kamu layaknya anak sendiri, kan?"

Dadaku tiba-tiba bergemuruh saat Bu Fatia mengatakan satu kalimat itu. Rasanya, ada sesuatu yang berkaitan dengan nasihat Babah dulu yang hendak dikatakan beliau. Entahlah, sejak awal kepindahanku ke rumah Acik dan bertemu beliau, sosoknya senantiasa hangat. Berulang kali aku diminta untuk tidak perlu canggung dan menganggapnya seperti ibu sendiri.

"Lula, kamu mau jadi anak Ibu beneran?"

"Maksud, Ibu?"

"Menjadi anak Ibu lewat sebuah ikatan yang dilindungi hukum dan agama. Menjadi menantu Ibu."

Deg. Tebakanku tidak meleset. Aku ... dipinang oleh seorang ibu untuk anaknya.

"Tidak perlu dijawab sekarang, kamu bisa berunding dulu sama Acik kamu. Kalau sudah memiliki jawaban, jangan sungkan untuk hubungi Ibu."

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang