Bagian Enam Belas

348 48 2
                                    

Aika bercerita banyak hal mengenai apa-apa yang dia ketahui tentang diriku. Dan tentu saja itu bersumber dari abangnya. Bahkan tahun lalu, katanya Pak Dirka mulai membicarakan aku di sela-sela obrolan mereka. Tepatnya ketika kejadian memalukan di acara olimpiade tingkat nasional waktu itu. Ah, mengingat itu lagi-lagi aku merinding, bayangan wajah Pak Dirka yang murka masih saja membekas. Apa ini yang namanya trauma?

Setelah bercerita banyak, gadis remaja yang kini berdiri di depan pintu rumahnya itu tampak murung. Sejak mengetahui aku akan dijemput oleh Kak Firaz, dia seperti malas untuk menyelesaikan soal latihan yang aku berikan. Jika tidak sering-sering mengerjakan soal, nanti dia tidak akan terbiasa untuk memecahkan masalah dan sulit menguasai konsep materi. Tapi, sepertinya hari ini benar-benar berantakan, padahal aku sudah menyiapkan topik pembicaraan seputar idol Korea favoritnya.

Aku duduk di sebelah Kak Firaz dengan banyak pikiran-pikiran di kepala. Kemungkinan Pak Dirka yang menyimpan rasa untukku seperti dugaan Aika, juga Kak Firaz yang tak kunjung membuka hatinya. Tadi malam kami tidur sekamar, tapi persis seperti malam pertama, dia tidur di lantai dan aku di kasur. Aku tidak mengharapkan apa pun, tapi rasanya kenapa sakit? Di sini, di sudut hatiku yang paling gelap.

"Kak, nanti malam keluar, yuk!"

Kak Firaz diam saja. Dia mengemudikan stir berbelok ke kanan.

"Emm, Lula pengen kita jalan ke mana gitu. Makan bareng atau apalah." Tidak menyerah, aku akan taklukan suami yang irit bicara ini.

"Aku ada revisi."

"Kan cuma malam ini aja, Kak. Revisiannya bisa dilanjut besok. Mau, ya? Ibu bilang kita harus sering bareng-bareng, Kak."

Dia mendesah. Dengan tetap menghadap ke jalanan, akhirnya dia berdeham. Ah, senang rasanya. Jika benar-benar terjadi, malam ini akan menjadi kencan kami untuk yang pertama kali. Dan malam mingguku  tak lagi seorang diri. Ibu, Lula bersyukur sekali karena Ibu datang berkunjung.

Sebenarnya, beberapa menit sebelum Kak Firaz menjemput, Ibu mengirimkan pesan kepadaku. Katanya, beliau tidak menginap di rumah malam ini. Beliau berkunjung ke rumah sepupunya yang juga seorang janda dan akan bermalam di sana. Besok, sebelum pulang, barulah akan mampir sebentar untuk menemuiku.

Ibu juga memintaku untuk mengajak Kak Firaz makan malam di luar. Sebab, beliau sudah mengirimkan uang kepada suamiku serta meninggalkan mobilnya untuk kami pakai. Dan dugaanku mengatakan, Kak Firaz tidak bisa menolak ibunya lagi kali ini. Walau kesannya terpaksa, tapi tidak mengapa. Bukankah sesuatu itu akan menjadi terbiasa dengan lebih sering bersama?

Kami pulang sebentar untuk bersih-bersih, lalu setelah magrib barulah kembali mengambil bagian di jalanan yang ramai akan muda-mudi. Sedikit macet, tapi tidak sampai yang tidak bergerak sama sekali. Aku suka ini. Setidaknya, akan semakin banyak waktu yang bisa aku habiskan bersama dengan suamiku. Ya, suamiku. Pikirkan Kak Firaz, Lula, bukan Pak Dirka.

"Kita makan di sini, Kak?"

"Hem."

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Jalanan yang padat dan dipenuhi pedagang kaki lima ini cukup baru untukku. Aku tahu kawasan Jalan Delima, tapi tak pernah melewatinya, baik siang apalagi malam hari. Daerah tempatku mengajar tidak satu pun yang mengharuskanku melewati jalanan ini. Melelahkan. Satu kata itu adalah yang paling tepat menggambarkan suasana hatiku sekarang.

"Kakak udah ...." Dia sudah lebih dulu memasuki warung. Asap yang mengepul menguarkan aroma khas yang cukup membuatku ingin segera memesan menu istimewa mereka. Tidak mengantri, tapi meja-mejanya tidak pernah kosong. Kepala yang menunduk menjadi pemandangan paling mayoritas.

Aku menyusul suamiku yang mengenakan pakaian santai malam ini, kaus pendek dibalut jaket dan celana selutut serta sendal jepit. Rasanya apa yang aku kenakan tidak seimbang dengan yang dia kenakan, rok tutu putih pemberian Laela dipadu kemeja pemberian Ibu dan pasmina menutup dada. Selain itu aku juga mengenakan sepatu kets kesayanganku, hadiah gaji pertama yang sengaja aku beli sebagai bentuk penghargaan diri.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang