Bagian Sembilan Belas (a)

341 46 0
                                    

Tepat setelah pelukan Laela usai malam tadi, aku beranjak ke kamarnya dan berbaring. Kepalaku terasa amat berat dan seperti orang yang begitu kelelahan. Dalam beberapa menit, aku masih tak percaya dengan apa yang barusan terjadi.

Perlahan, dengan sangat perlahan, aku mulai memejamkan mata sambil berdoa: terlelap malam ini untuk waktu yang lama. Aku enggan berharap, tapi enggan juga mengakui kenyataan.

Kalaulah saja mengirim pesan bisa sampai ke alam barzah, mungkin entah berapa banyak pesan-pesan yang aku kirim ke Babah. Hanya lelaki itulah yang sepertinya menjadi lelaki satu-satunya yang mencintaiku paling wah.

Di luar, suara Laela yang menangis sesegukan samar-samar terdengar. Mungkin dia ada di kamar temannya, atau mungkin dia ada di dapur dan sedang mengiris bawang. Tapi, isaknya lamat-lamat menjadi lirik yang menyayat-nyayat. Bahkan, suara beberapa temannya berbisik-bisik menanyakan apa yang sebenarnya terjadi denganku.

Aku mengubah posisi tidur dari yang semula terlentang menjadi miring ke kanan. Kelopak mata yang tadinya tertutup perlahan-lahan, sekarang aku picingkan kuat-kuat. Sambil meremas ujung bantal, aku meminta kepada Tuhan, sudilah kiranya memberiku ketenangan malam ini saja.

Rasanya lelah, mengingat hari-hari yang aku lalui selama dua bulan, rasanya melelahkan. Dia tidak bahagia bersamaku. Dia memiliki pilihannya sendiri. Dia ... hanya percaya bahwa perempuan itu yang mampu membuatnya bahagia.

🌵🌵🌵

Di sebuah teras rumah, milik Acik, aku melihat Babah duduk di dipan yang dialasi anyaman pandan. Wajahnya persis seperti ketika awal-awal aku masuk madrasah. Matanya fokus membaca buku tebal yang sampulnya keras. Dan di ujung pintu pagar, aku terpaku tidak percaya.

Mungkin orang-orang pernah merasakan ini, atau mungkin tidak pernah sama sekali, atau mungkin juga tidak tahu kalau pernah merasakannya. Aku tahu bahwa aku sedang bermimpi. Ya, apa yang aku lihat adalah sebuah dimensi dalam mimpi. Tapi, aku harap tidak ada yang membuat kesadaranku pulih sebab aku ingin lebih lama lagi melihat Babah yang serius membaca itu.

Kakiku enggan melangkah, khawatir jika nanti Babah akan menghilang dan mimpiku berakhir begitu saja. Tetapi, baru saja aku menyapanya dalam hati, Babah menoleh. Beliau tersenyum dan matanya berkedip. Kami bertatapan. Kami saling memperlihatkan senyuman. Dan sepertinya senyumku akan pudar sebentar lagi.

Dengan langkah lebar, aku bersegera menghampiri Babah. Berlutut di sebelahnya dan lalu memeluknya erat. Tubuhnya begitu wangi saat kuhirup kuat-kuat. Dan, tangan Babah mengusap kepalaku seperti yang biasa beliau lakukan di waktu sore saat kami mengobrol. Dan lalu, aku menumpahkan tangisan sekuat-kuatnya. Terisak-isak hingga akhirnya isak itu membawaku ke alam sadar.

Tidak. Aku tidak membuka mata setelahnya. Dengan doa-doa, aku ingin kembali tidur dan bertemu Babah lagi. Tetapi sepertinya, aku terlalu serakah dan Tuhan tak mengabulkannya. Hingga kemudian air mataku yang semula juga sudah membasahi sarung bantal Laela, kini ia kembali mengalir lagi dan lagi. Dan aku masih enggan membuka mata.

"Lula, engkau tak sembahyang ke?" Suara Laela mengejutkan aku. Azan subuh memang sudah berlalu sejak beberapa menit yang lalu. Dan sejak mimpi itu berakhir, tak semenit pun aku kembali lelap.

"Lula Nandia?"

Aku terperanjat. Seperti alarm yang terpasang di tubuhku, panggilan itu selalu sukses membuat aku bersiap. Akhirnya, dengan terpaksa aku membuka mata yang entah mengapa menjadi sulit: lengket dan berat.

"A-aku haid." Tenggorokanku kering sekali.

Laela tak lagi bersuara. Langkahnya terdengar meninggalkan kamar. Dia menutup pintu pelan-pelan. Dan setelah suara salam terdengar dari pengeras suara musala, aku mulai tak mendengar apa-apa.

***

Aku terkejut saat suara lantang milik Tias menerobos masuk dalam telingaku. Dia meninggikan suaranya dan menyebut nama Kak Firaz dengan logat Batak-nya yang kental. Kemudian suara Laela memintanya untuk tidak berisik. Dan aku pun terbangun.

Entah apa yang mereka bicarakan selama aku tertidur. Yang aku bisa pastikan sekarang adalah hari ini aku membolos kuliah. Jam dinding di kamar Laela menunjuk ke angka sembilan sementara pagi ini aku ada kelas mulai jam delapan kurang. Segera aku mencari ponsel yang sepertinya diletakkan Laela di atas lemarinya tadi malam. Hanya saja, baru satu langkah kakiku meninggalkan ranjang, sebelah kakiku yang lain bak kehilangan tulangnya. Sontak aku menahan tubuhku yang ambruk pada pinggiran ranjang. Dan setelahnya pintu kamar itu terbuka serta tiga orang yang berdiri di ambangnya masuk dengan wajah cemas.

"Lula, astagfirullah!"

Laela dan Tias memapahku kembali ke ranjang. Sementara satu orang lainnya, Dian, panik di belakang mereka.

"Engkau nak apa?"

"Hapeku, La. Hari ni aku ada kelas."

"Tak payah pegi kelas, engkau demam."

"Tak, aku oke."

"Tak, engkau tak oke sangat-sangat."

Wajah Laela berubah garang. Dia menatapku dengan penuh intimidasi. Setelahnya, dia menawarkan aku makan agar bisa minum obat. Sementara Tias dan Dian, mereka menyepakati perkataan Laela.

Pada akhirnya aku mengalah. Setelah membersihkan diri, aku sadar bahwa haidku tak lagi keluar. Padahal kemarin sore rasa nyerinya sempat hadir, tetapi pagi ini malah tidak ada tanda-tanda. Hanya ada rasa tidak nyaman pada perut bagian bawah.

Laela pun memasakkan nasi goreng putih dengan telur mata sapi. Masakan andalannya dan juga favoritku. Sarapan nasi goreng putih akan terus menjadi favoritku karena ia menjadi potongan memori tentang Babah.

"La, habiskan, ya." Dian menyodorkan aku segelas susu cokelat.

"Iya, La. Ko harus sehat biar masalahko pun nanti---"

"Dah-dah-dah. Sekarang agik baik engkau habiskan nasi goreng spesial buatan aku tu." Laela menyela dan menggerakkan dagunya, memintaku segera melahap sarapan.

Seharusnya nasi goreng ini gurih dan nikmat, sebab buatan Laela memang mirip dengan buatan Babah. Tapi sekarang aku tidak merasakan apa-apa. Entah Laela sedang kehabisan garam, atau mungkin lidahku habis makan pare si sayur pahit. Dan akhirnya aku berhenti setelah suapan ketiga. Perutku mual minta ampun dan entah datang dari mana kekuatan itu, aku berlari ke kamar mandi untuk memuntahkannya. Rasanya tidak nyaman sekali.

Laela segera menyusul dan membantuku kembali ke meja makan. Suasana pun hening. Entah mengapa mereka tidak seperti sebelumnya. Dan kemudian Dian bertanya, "Lula, kamu enggak apa-apa, kan?"

Aku menggeleng. Walau tidak enak rasanya, tapi aku tidak ingin membuat mereka semakin khawatir.

"Beneran?" Dian kembali bertanya.

Dan aku pun mengangguk. Lalu Tias duduk di sebelahku seraya berkata, "Kita ke dokter aja, ya."

"Enggak usah. Aku enggak apa-apa."

"Korang ni dah kenapa? Macam kalut je muka korang aku tengok."

Aku mengikuti arah pandangan Laela, pada Tias dan Dian yang duduk berhadapan.

"Jaga-jaga aja, La. Daripada nanti terlanjur nelen obat, rupanya enggak boleh. Kan kasian ...."

"Kasian apa?" tanya Laela.

"Kasian bayinya. Orang hamil kan enggak boleh minum obat sembarangan."

"Hamil?"

.
.
.
#TBC

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang