Bagian Dua Puluh

990 69 8
                                    

Seumpama kertas kosong, ia bisa menjadi berharga bagi seseorang, bisa pula dianggap sampah bagi yang lain. Dan itu aku.

Di mata para sahabatku, aku begitu mereka cintai hingga apa-apa yang aku alami menjadi bagian dari warna tinta kehidupan mereka. Aku bersyukur, sangat bersyukur, Tuhan menganugrahkan sahabat seperti mereka. Entah seberapa rapuhnya aku jika tanpa pelukan dari mereka, mungkin sudah robek serobek-robeknya dan hilang sebagian robekan itu.

Laela, Nay, Tias, dan Dian, mereka turut serta menemani perjalanan terakhirku dalam lembar kertas yang dinamakan pernikahan. Entah bagaimana reaksi tetangga-tetanggaku yang lain, sebab mereka, ditambah Mbak Ines dan Ambu, menungguku di luar rumah. Sementara aku, dan Ibu, dan Acik, juga lelaki yang kusut masai wajahnya itu, duduk di ruang tamu bersama-sama.

Aku tak bisa berucap apa-apa. Jika memang pernikahan ini tak lagi bisa diselamatkan, biarlah lukanya menganga hari ini. Entah berapa lama waktu yang kemudian aku butuhkan untuk mengeringkannya, tapi paling tidak, tak perlu ada jeruk nipis yang mengucur di atasnya. Cukup ia terluka saja, jangan ditambah dengan apa-apa yang lebih membuatnya bertambah parah.

"Firaz, jelaskan ke Ibu apa yang kamu bilang tadi malam itu enggak benar. Kamu cuma lagi enggak bisa ngontrol emosi kamu, kamu---"

"Bu!" Mata Kak Firaz memerah dan menatap nyalang ke arah Ibu. "Mau sampai kapan Ibu memaksa kehendak? Fir ada pilihan hidup sendiri, Bu. Ibu bilang coba saja dulu, udah. Fir udah coba dan hasilnya minus." Bibirnya bergetar. Apakah yang dimaksud "coba saja dulu" ini adalah pernikahan yang aku jalani di dalamnya?

Aku mengarahkan pandangan ke Ibu. Beliau tampak berkaca-kaca sembari menatap putranya. Mereka saling tatap dan entah membicarakan apa lewat emosi yang mereka perlihatkan di mata mereka.

"Dari awal, dari waktu Ibu minta Fir menikah, udah Fir bilang kalau Fir mau nikah sama pacar Fir. Tapi Ibu tetep ngotot buat nikah sama Lula. Katanya cinta bisa tumbuh kalau terbiasa bersama-sama. Enggak, Bu, cinta enggak sesederhana itu!"

Jadi, sedari awal, Ibu sudah tahu bahwa Kak Firaz memiliki kekasih yang teramat dicintainya?

"Fir udah coba dengerin kata Ibu, tapi tetep aja, Natta itu---"

"Jangan sebut nama itu! Ibu enggak mau dengar nama itu."

"Ibu egois." Kak Firaz tertawa. "Ibu macam apa yang---"

"Cukup!" Aku mengepalkan kedua tangan dan juga memejamkan mata. Suara mereka hilir mudik melewati gendang telingaku hingga menimbulkan pening di kepala. "Bu, biarkan kami belajar menjadi orang dewasa." Aku membuka mata dan menatap Ibu. Beliau menangis.

Hening. Bahkan di luar rumah pun tidak satu pun dari mereka yang berbisik-bisik seperti sebelumnya. Entah benar atau tidak, tapi aku tidak ingin begini lagi.

"Saya, Lula Nandia, akan menerima keputusan apa pun dari suami saya." Kini aku mengalihkan pandangan ke arah Kak Firaz. Nanar matanya menyiratkan kebersalahan. Dia mengusap wajahnya dengan kasar sebelum menegakkan punggungnya.

Acik mengurai kepalan tangan kiriku, menautkan jemarinya pada jemariku, menggenggamnya dengan begitu erat. Kemudian tepukan-tepukan kecil dilakukannya di atas punggung tanganku. Sungguh aku tidak sanggup melihat wajah Acik saat ini. Sudah barang tentu, beliau ikut terluka akibat lukaku.

"Saya, Firaz At-taqy, dengan ini akan menalak---"

"Firaz!" Ibu berteriak.

Tidak hening seperti sebelumnya, mereka yang di luar mulai berbisik-bisik. Sementara jauh di relung hatiku, sesuatu tengah menangis di sana. Entah bagaimana menerjemahkannya, tapi rasanya benar-benar tidak menyenangkan.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang