Bagian Delapan (a)

314 48 4
                                    

Aku mendapati Kak Gilang berdiri di depan kelas saat aku dan Nay baru saja hendak keluar. Nay segera menyikut lenganku sambil terkekeh. Dia lantas berbisik bahwa calon masa depanku sudah menunggu. Andaikan kemarin dia tidak membahas mengenai perselingkuhan di atas pernikahan dan tidak menyukai pelakunya, mungkin aku sudah memberi tahu perihal cincin di jariku. Dia tidak lagi bertanya karena menebak bahwa itu adalah hadiah dari Acik. Aku pun bersyukur karena kulit ini alergi dengan inai yang biasa digunakan pengantin sebagai pewarna kuku alami.

Kak Gilang menjadi perhatian beberapa mahasiswi yang berlalu-lalang. Kalau saja Nay sadar bahwa Kak Gilang tidak tersenyum seperti biasa, mungkin dia akan dengan tanpa rasa dosa akan bertanya apa pun yang terlintas di kepalanya demi menjawab rasa penasarannya. Namun sepertinya dia terlalu sibuk menggodaku saja.

"La, aku tunggu di atas, ya? Tenang, ntar aku amankan bangku di depan buat kamu," ucap Nay setengah berbisik kepadaku. Dia segera menyusul teman-teman yang lain. Sekitar sepuluh menit lagi, kelas selanjutnya akan dimulai di ruangan yang berbeda.

Aku segera berpindah tempat mengingat ruangan barusan akan digunakan mahasiswa lain. Sementara aku berjalan ke arah tangga, Kak Gilang mendahuluiku sambil berkata, "Kakak mau bicara sebentar sama kamu."

Dia berjalan dan melewati tangga, dan terus berjalan lalu berbelok ke kanan, dan berhenti di sisi bangunan. Dengan masih membelakangiku, dia bertanya mengapa aku tidak bilang apa-apa mengenai suamiku.

Mulanya aku enggan menjawab dan ingin segera menyudahi saja. Namun ketika Kak Gilang menyebut nama lengkap Kak Firaz, aku rasa dia mengetahui sesuatu.

"Dia orang baik, Kak. Lula juga enggak dipaksa siapa-siapa. Lula---"

"Kakak lihat dia kemarin malam, La! Di depan kosan Nini. Kamu sadar enggak, sih, kalau kamu itu diseling---"

"Lula tau apa yang seharusnya Lula lakukan dan enggak lakukan. Terima kasih udah memberi sedikit perhatiannya buat pernikahan Lula. Tapi maaf, Kak, Lula enggak mau ngerepotin siapa-siapa. Permisi."

Aku menghentikan pembicaraan tersebut secara sepihak. Orang-orang yang melewati dan memperhatikan kami membuatku tidak nyaman.

"Aiih, Bro! Pantang menyerah sekali ko ini." Bang Udin, teman sekelas Kak Gilang, datang tiba-tiba dan membuatku hampir terjatuh karena menghindarinya. "Eh, maaf-maaf. Enggak pa-panya ko, Dek?" tanyanya.

Aku menggeleng dan berlalu dari sana. Kak Gilang tahu tentang perempuan itu. Bagaimana jika nanti dia melakukan sesuatu? Aku masih ingat saat awal masuk kampus ini, dia secara terang-terangan mengatakan bahwa aku adalah tipenya. Dia bahkan enggak segan mengejar seorang pelaku pelecehan yang membuatku pingsan saat diperlihatkan alat vital pelaku tersebut. Walau bukan hanya aku korbannya, tapi dia bertindak secara brutal setelah mengetahui kejadian itu menimpaku.

Saat itu, tim keamanan kampus bahkan sering kali kehilangan jejak lelaki asusila itu saat proses pengejaran. Tapi Kak Gilang menangkapnya setelah mengejar hingga masuk ke semak-semak dan membuat tubuhnya dipenuhi luka. Orang-orang sampai bergosip bahwa dia melakukan itu karena aku yang jadi korban.

Aku menapaki setiap undakan anak tangga dengan napas berat. Hampir setiap langkah aku berhenti di tempat untuk beberapa saat. Kepalaku berdenyut-denyut saat menerka-nerka apa kira-kira yang akan Kak Gilang lakukan setelah ini.

"Lula Nandia!"

"Iya saya!" Aku terlonjak saat mendengar suara yang tidak asing itu dari belakang. Saat aku berbalik, aku semakin terkejut karena tebakanku benar. "Ma-maaf, Pak," ucapku cepat.

"Kamu ngapain? Mainin tangga?" Pak Dirka berdiri pada tiga anak tangga yang lebih rendah dariku. Tatapan dari balik kacamatanya masih saja mengintimidasiku, padahal kejadian itu sudah lewat satu semester lalu.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang