Bagian Sembilan

312 46 1
                                    

"La, ngapain?" tanya Nay dengan suara berbisik saat tak sengaja kami bertatapan. Dia berdiri di depan pintu yang dibukanya sedikit.

Aku menjawabnya dengan memperlihatkan tumpukan jilidan skripsi kakak tingkat yang sedang mengantri jadwal ujian. Berkas-berkas tersebut harus aku urutkan sesuai jadwal yang sudah dibuat Pak Dirka selaku dosen dan staf di jurusan. Dia sedang duduk di mejanya dan mengetik entah apa. Aku hanya disuruh menyusun saja dan merapikan letaknya agar memberi lebih banyak ruang di ruangan yang tidak besar ini.

"Masih lama enggak?" tanya Nay lagi dengan masih suara rendah.

Aku menggedikkan bahu sebagai jawaban. Selain menyuruhku untuk menyusun berkas skripsi kakak tingkat, aku juga diminta untuk tidak ke mana-mana setelahnya. Aku tidak berani bertanya. Melihat wajah Pak Dirka saja sudah membuat kakiku lemas.

"Aku tunggu di depan, ya." Nay menutup pintu perlahan setelahnya.

Aku menelan ludah sambil melirik Pak Dirka. Satu per satu berkas-berkas tersebut telah selesai aku susun sesuai jadwal. Namun, setelah menyelesaikan semuanya, aku malah enggan melapor.

Pikiranku tiba-tiba kembali pada kejadian tadi pagi. Enggak biasanya Mbak Ines tetanggaku itu tidak menjemur pakaian. Seminggu terakhir aku juga jarang mendapatinya mengantar-jemput dua anaknya yang sekolah. Pada saat gotong royong bersama pun aku tidak menemukannya di antara ibu-ibu komplek. Aneh, biasanya dia akan selalu menggodaku jika Kak Firaz tidak pulang atau pulang larut malam.

Kalau dipikir-pikir, kekasih suamiku juga mulai jarang nampak. Walau tak selalu berpapasan dengannya, tapi sesekali aku melihatnya pulang atau pergi dan lewat di depan rumah. Apa yang sebenarnya terjadi? Hampir dua minggu ini semuanya mendadak aneh.

"Lula Nandia!"

"I-iya saya, Pak!"

"Kamu hobi sekali melamun. Saya tanya dari tadi malah tidak dijawab." Wajah Pak Dirka menatap datar ke arahku.

"Ba-bapak tanya apa? Maaf."

Pak Dirka menghela napas. Wajahnya kembali beralih pada layar komputer dan entah mengetik apa. Beberapa detik kemudian barulah dia menatap dan melontarkan pertanyaan kepadaku. "Hari apa saja yang sekiranya kamu masih bisa isi untuk mengajar?"

"Siapa, Pak? Saya?"

Lagi, Pak Dirka menghela napas. Dan lagi, aku kembali menelan ludah. Rasanya tenggorokanku kering jika berada di dekat dosen muda satu ini.

"Hari Rabu dan Sabtu yang kosong, Pak. Kalau Minggu sengaja saya tidak isi."

Dosen dengan kemeja putih itu terlihat berpikir. Tangannya juga menggeser dan menekan tetikus, lalu mengamati sesuatu, kemudian mengatakan, "Hari Sabtu berarti bisa, kan?"

"Bisa ... apa, Pak?"

"Mengajar adik saya. Tahun depan dia tamat sekolah."

"Terus maksud Bapak?"

"Kok bisa, sih, Bu Mita rekomendasiin kamu yang lambat begini? Ya kamu mengajar adik saya. Perempuan, namanya Aika."

Kenapa dosen matematika jenius sepertinya memintaku untuk mengajar adiknya? Kenapa tidak diajar sendiri saja?

"Saya tidak menemukan kasus seorang kakak berhasil menjadi guru les adiknya sendiri." Pak Dirka menambahkan sambil mengalihkan pandangannya ke arahku seolah-olah bisa mendengar pertanyaan di dalam pikiranku.

Benar, sih. Tapi apa harus aku yang jadi mentor adiknya?

"Saya sudah bicarakan ini dengan Bu Mita. Kamu bisa tanyakan beliau untuk sistem yang saya inginkan."

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang