Bagian Tujuh

320 48 1
                                    

Perempuan itu bilang ada sesuatu yang perlu dia bicarakan kepadaku. Dengan matanya yang entah sejak kapan berlinang, dia menatap lurus ke arahku. Kami terdiam dalam beberapa saat hingga sapaan tetangga depan rumahku membuat aku menoleh seketika.

Ibu muda itu baru saja menuruni motor matic-nya. Setelah menurunkan dua anaknya, membuka pintu rumah, dan meletakkan plastik belanjaan, dia berjalan ke arah kami. Dia tersenyum, tapi senyum itu terlihat aneh sekali.

"Ada anak baru ya, Dek Lula?"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban dan tersenyum semampuku saja. Sepertinya aku harus mengatur waktu untuk berbicara empat mata dengan perempuan ini. Jika Mbak Ines tahu siapa perempuan yang baru saja pindah ini, bisa kutebak dia akan mencecarku dengan banyak pertanyaan atau menyebarkan gosip seperti sebelumnya.

"Perkenalkan, Mbak, saya Natta." Perempuan itu memperkenalkan diri. Mbak Ines tersenyum ramah dan mulai melayangkan beberapa pertanyaan. Mulai dari sekadar basa-basi sampai yang menurutku privasi.

"Dek Lula dari pasar, ya?"

Seketika aku menoleh ke arah Mbak Ines. Menunggunya bertanya ini-itu yang tak kunjung usai membuat aku ingin segera meninggalkan mereka. Namun, aku harus mengatakan sesuatu dulu kepada perempuan itu.

"Sama siapa? Sama suaminya? Tapi kok Mbak lihat enggak ada motornya di depan? Apa langsung pergi lagi?"

Aku menahan ringisan. Aku penasaran, seberapa banyak stok pertanyaan yang dia punya sebenarnya?

"Kak Fir udah pergi ke toko, Mbak," jawabku seadanya.

"Kan hari Minggu. Masa mau kerja mulu. Istrinya ditinggal mulu."

Aku menahan napas sejenak sambil menggenggam erat plastik belanjaan. Mbak, bisakah tidak membicarakan itu di depan perempuan ini?

Perlahan aku menghela napas sambil tersenyum. Ya mungkin saja senyumku kali ini akan aneh. "Kan suami, Mbak. Ada istri di rumah yang jadi tanggung jawab. Mumpung belum repot, kan? Bisa ditabung juga uangnya sedikit-sedikit buat bekal nanti," ucapku dengan menekankan kata "repot", walau aku sendiri masih belum tahu apakah masa itu akan datang kepadaku atau tidak. Dan entah bagaimana, wajahnya mendadak berubah kaku. Bola matanya bergerak-gerak. Aku lihat dia juga seperti menelan ludah dengan kesusahan. Apakah aku salah menjawab?

"Ya-ya udah, Mbak duluan, ya. Mau masak. Mari, Dek." Dia mengangguk kecil ke arah perempuan yang berdiri di sebelahku kemudian berjalan cepat ke arah rumahnya.

Setelah kepergian Mbak Ines, aku dan perempuan itu kembali saling tatap. Kami pun memutuskan untuk bicara di tempat lain, seusai proses pemindahan barangnya selesai. Aku yang mengusulkannya lebih dulu, mengingat kemungkinan tetangga depanku itu akan memantau kami berdua.

🌵🌵🌵

"Saya tau kalau Firaz sudah menikah."

"Terus hubungan kalian masih tetap mau dilanjutkan?"

"Saya ... saya ... ."

Aku menatap perempuan yang duduk di seberang meja itu cukup lama. Aku harus lebih kuat darinya, agar bisa mempertahankan rumah tanggaku ke depannya.

"Saya tau hubungan kalian jauh lebih lama dari pernikahan saya. Tapi, bukan berarti hubungan kalian ini benar. Kak Firaz sudah menikah, itu tandanya dia bukan lagi seorang bujang, melainkan suami orang."

Perempuan itu terus menunduk. Entah apa yang dia lihat atau pikirkan. Aku hanya berusaha untuk terus meyakinkan diri bahwa apa yang aku lakukan ini tidak salah. Benar, kan? Aku hanya ingin suamiku berhenti berhubungan dengan pacarnya karena dia sudah menikah.

"Saya tau," ucap perempuan itu singkat. Perlahan, dia mulai mengangkat wajahnya dan menatapku. Dia ... menangis.

Aku mengalihkan wajah begitu melihat air matanya jatuh. Rasa panas yang tiba-tiba menjalari kelopak mataku membuat ada perasaan aneh di dalam sana.

"Saya tau kamu pasti tidak terima dengan hubungan kami. Sebenarnya ..."

Aku menoleh. Dia sudah mengusap air matanya dan meletakkan kedua tangannya di atas meja. Tatapannya penuh percaya diri, tapi aku juga melihat ada kesedihan di dalamnya.

"... sebenarnya saya baru tau pernikahan kalian sewaktu kita bertemu pertama kali di kampus. Firaz baru bicara hari itu. Dan ... saya pikir hubungan kami sudah berakhir." Lagi, dia mengusap pipinya.

Suasana kafe yang cukup sepi, terlebih kami duduk di tempat paling pojok di lantai dua, membuatku lebih leluasa untuk bicara perihal ini dengan perempuan itu. Bulir air yang mengembun dan mulai mengalir pada gelas sempat menjadi perhatianku. Sepertinya, kami cukup lama menghabiskan waktu di sini, sementara pembicaraan kami seperti kaset yang macet. Berulang kali berhenti tanpa alasan. Baik aku maupun perempuan itu, kami sama-sama banyak diam.

"Tapi Kak Firaz tidak bicara apa-apa."

"Dia juga masih memasang foto kalian sebagai wallpaper laptop dan ponselnya," tambahku dalam hati.

Aku mengepalkan sebelah tanganku dengan kuat yang berada di atas pangkuan. Aku juga mengeratkan gigi demi menahan gumulan sesak di dada yang hampir keluar.

Perempuan itu mengambil tisu dan menyeka hidungnya. Dia tidak lagi menatap wajahku, tapi pandangannya seperti mengarah ke atas meja. Aku pun mengikuti arah pandangannya, jika tidak salah menebak, sepertinya dia memperhatikan jemariku yang salah satunya terdapat cincin dengan satu permata di tengah-tengah. Cincin nikahku.

"Saya tidak mungkin menjadi orang ketiga di antara kalian. Tapi ... ini terlalu tiba-tiba. Beri saya waktu untuk menyudahi hubungan kami secara baik-baik," ucap perempuan itu tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun.

Degup jantungku berpacu saat ini. Waktu? Apakah maksudnya aku harus bersabar menunggu hubungan mereka usai?

🌵🌵🌵

Malam ini aku tidak bisa tidur sama sekali. Langit-langit kamar seolah-olah tengah memutar tayangan pertemuanku dengan perempuan itu tadi siang. Dan untuk pertama kalinya, Kak Firaz pulang sore hari ini. Hanya saja, selepas magrib tadi dia sudah pergi lagi dan belum pulang sampai sekarang.

Aku menghela napas. Setelah mengetuk layar HP sebanyak dua kali, angka yang tertera adalah 21:54. Aku pun memutuskan untuk membuat susu cokelat sebagai teman membaca buku untuk pengayaan menjelang kelas hari Senin, lusa. Namun, setelah membuat susu dan kembali ke kamar, aku mendengar suara Kak Firaz samar-samar dari depan rumah. Hanya saja, setelah mengintip lewat jendela kamar, tiba-tiba saja kelopak mata dan hidungku terasa panas.

Aku lihat Kak Firaz sedang mengobrol sambil terkekeh dengan seseorang di depan pagar rumah Ambu. Posisinya masih di atas motor dan tepat di bawah lampu jalan. Walau tidak kelihatan siapa lawan bicaranya, tapi pikiranku tertuju pada perempuan itu. Aku segera berpaling dari sana dan duduk di tepi ranjang. Niatku yang semula hendak membaca buku salah satu mata kuliah menguap begitu saja. Pikiranku pun teringat pada pembicaraan aku dan perempuan itu tadi siang.

"Berapa lama? Berapa lama kalian akan benar-benar menyudahi hubungan itu?" tanyaku ketika perempuan itu sudah menatap ke arahku setelah beberapa waktu.

Dia masih terdiam. Entah berapa lama, tapi aku tak mengalihkan pandanganku darinya walau sekejap. "Apa mau sampai ibu mertua saya tau ini semua?" ungkapku, lagi. Tiba-tiba saja aku teringat Ibu saat itu.

Perempuan itu membenarkan posisi duduknya. Dia mengalihkan pandangannya beberapa kali seperti tidak nyaman dengan ucapanku barusan. Setelah beberapa detik, barulah dia menjawab pertanyaanku. "Saya tidak janji berapa lama. Tapi saya akan berusaha untuk mengakhiri semuanya secepat mungkin."

"Saya kasih waktu satu bulan." Aku merutuki kalimatku. Kenapa lama sekali? Kenapa harus satu bulan, Lula? Ya Allah ....

"Saya usahakan, tapi tetap tidak bisa janji."

.
.
.
#TBC

Nyesek banget enggak, sih? Sebel juga sama Natta. Gimana menurut kalian?

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang