Bagian Lima Belas (a)

297 51 2
                                    

Menjadi pendidik itu pada dasarnya bukan impianku, tapi impian Babah yang kemudian menjadi impianku juga. Babah bilang, pendidik adalah orang yang dermawan. Sekalipun ilmu yang mereka dapat butuh banyak perjuangan, tapi ketika anak didiknya jauh lebih berhasil darinya, mereka akan sangat bahagia. Oleh karenanya, tidak salah jika mereka dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa.

Jika mengingat pengalaman Babah mengajar sebagai honorer sampai akhir hayatnya, aku sangat kagum. Babah itu sederhana. Tidak pernah muluk-muluk jika bermimpi. Katanya, asalkan aku dan Amak bisa kenyang serta tersenyum, itu sudah cukup. Ah, Babah, lagi-lagi Lula rindu.

Beberapa hari terakhir orang-orang santer membicarakan tentang virus baru dari Cina yang sudah masuk ke Indonesia. Nay berulang kali cemas karena abangnya bekerja di Jakarta yang merupakan daerah dengan kasus pertama. Dia bilang, virus ini menyebar begitu cepat hingga akhirnya pemerintah setempat melakukan pembatasan sosial terbatas. Sejauh ini, berdasarkan informasi yang aku dengar, kota ini masih aman. Belum ada laporan kasus yang terjadi di Riau dan sekitarnya. Hanya saja, aku menebak virus ini akan berdampak besar nanti.

Sewaktu aku berjalan pulang, sebuah mobil terparkir di depan rumah Mbak Ines. Itu mobil yang seminggu lalu, mobil yang sama saat Mbak Ines mencoba mencelakai diri di malam hari. Tapi sepertinya laki-laki yang katanya mantan suami Mbak Ines itu tidak sendirian kali ini. Ada suara Cello dan Pio yang tertawa-tawa. Beberapa saat kemudian, tetanggaku itu keluar bersama mantan suaminya. Wajahnya semringah, sementara laki-laki itu terlihat tidak berekspresi sama sekali.

Setelah mobil range rover hitam itu meninggalkan tempatnya, tidak sengaja aku beraitatap dengan Mbak Ines. Dia lantas mendekatiku dan tersenyum lebar. Kami berdiri berhadapan di pinggir jalan. Binar matanya seakan-akan mengatakan bahwa hari ini adalah hari paling bahagia. Kemudian, dia bilang, "Makasih, Dek."

Aku berkedip-kedip. Mungkin dahiku sudah berkerut saat ini. Tidak paham, aku pun menanyakan alasan dari balik ucapan Mbak Ines barusan.

"Makasih karena enggak benci Mbak. Makasih karena udah sering-sering ke rumah buat nganterin makanan, nungguin Mbak makan, dengerin Mbak nangis juga. Makasih banyak."

Hatiku berdesir. Aku hanya melakukan hal kecil, hal yang sepertinya sangat wajar dilakukan seorang tetangga kepada tetangganya yang sakit seorang diri. Babah bilang, tetangga itu adalah saudara terdekat kita. Beliau selalu mengingatkan aku untuk memastikan tetanggaku tidak kelaparan di saat aku kenyang. Dan sekarang aku sadar, ternyata begini rasanya jika kita memperlakukan tetangga dengan baik. Ya walau di kampungku tidak begitu.

"Cello sama Pio udah pulang, Dek. Harta Mbak satu-satunya udah pulang." Pipi Mbak Ines serupa gelas berisi air es, membuat sesuatu yang hangat menjalari dada dan kelopak mataku. "Mbak tau hukuman buat Mbak enggak bakal selesai sesederhana ini, tapi Mbak yakin, Tuhan pasti buka pintu maaf-Nya, kan?" Suaranya lembut sekali. Ditambah sore ini entah kenapa cukup sepi. Mungkin orang-orang mulai mengurangi aktivitas luar ruangan karena berita-berita.

"Kalau Mbak butuh sesuatu, telepon aja Lula." Lepas, aku tersenyum dengan sangat lepas.

Mbak Ines mengangguk. Diusapnya pipi mulusnya itu kemudian ikut tersenyum. "Ibu mertua kamu datang. Kayaknya, suami kamu bikin beliau enggak suka."

Aku mengernyit. Ibu mertua? Suamiku? Astagfirullah, Ibu!

"Kamu enggak tau?" tanya tetanggaku yang kakinya dipeluk dua bocah saat ini.

Entahlah, apa mungkin Ibu sudah memberi tahu Kak Firaz dan suamiku itu tidak meneruskannya kepadaku? Atau kemungkinan lain Ibu datang tiba-tiba dengan sukarela? Ya Allah, bagaimana jika Ibu tahu kalau kami tidur terpisah?

"Ya udah, kamu masuk sana. Dari tadi suami kamu enggak ada keluar-keluar. Biasanya kan dia pergi terus ntar malam baru pulang," bisik Mbak Ines.

Aku menurutinya. Dengan debar yang tidak jelas di dada, aku menarik napas dalam sebelum mengetuk pintu, mengucap salam, lalu membukanya. Dan begitu aku masuk, ternyata Ibu tidak ada di ruang tamu. Kak Firaz pun sama. Setelah berjalan beberapa langkah, aku pastikan mereka juga tidak di dapur atau meja makan. Perlahan aku buka pintu kamarku dan ternyata Kak Firaz sedang duduk di tepi ranjang.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang