Bagian Tiga Belas

292 48 2
                                    

"Jadi kamu sudah menikah?"

"I-iya, Pak."

"O, begitu."

Pak Dirka tidak bertanya apa-apa lagi setelahnya. Sesaat sesudah keluar dari komplek perumahannya, dia memastikan alamatku. Akhirnya aku memberi tahu bahwa sudah pindah dan tinggal bersama suami. Aku tidak bisa memastikan bagaimana ekspresi wajahnya, sebab aku duduk di bangku belakang, sesuai perintahnya.

Sebenarnya, kalau ibunya Pak Dirka sedang tidak sakit, kemungkinan Aika akan ikut mengantarku pulang. Tapi malam ini dia memilih menjaga ibunya. Katanya, lain kali pasti akan berkunjung. Hanya saja, tidak ada satu pun muridku yang melakukan itu sebelumnya. Jadi rasanya agak aneh.

"Ini nanti belok di depan sana?" tanya Pak Dirka.

"I-iya, Pak. Setelah putar balik, gang di dekat warung."

Jalanan di daerah sini basah, tapi hujan tidak lagi mengguyur seperti sebelumnya. Aku pun berinisiatif untuk turun di depan gang saja. Ada rasa khawatir jika Pak Dirka mengantarku pulang sampai depan rumah.

"Kamu jangan main-main. Ini sudah malam."

"Baru setengah delapan kok, Pak. Masih ramai biasanya."

"Kamu pikir saya ini laki-laki macam apa?"

Aku terdiam. Nada bicara Pak Dirka agak tinggi saat ini. Daripada menambah rentetan kebenciannya kepadaku, lebih baik aku mengalah. Mobil yang aku tumpangi pun akhirnya masuk ke gang perumahan. Setelah menunjukkan arah, aku kembali diam. Ucapan terima kasih menjadi penutup pembicaraan antara kami sesaat sebelum aku turun dari mobilnya. Namun, apa yang aku khawatirkan terjadi. Tepat ketika mobil dosenku itu bergerak maju, dari arah belakang motor Kak Firaz mendekat.

"Kak." Aku mengulurkan tangan setelah Kak Firaz memarkirkan motornya di teras. Dan seperti biasa, dia mengabaikanku. Tubuhnya segera menghilang dari balik pintu yang dibiarkannya terbuka.

Aku menyusulnya segera. Dengan langkah lebar, lengannya berhasil aku raih hingga menghentikan langkahnya menuju kamar. Dia tidak melepaskan genggamanku, tapi kepalanya menengadah sebentar lalu menghela napas.

"Kak, itu tadi dosen Lula. Karena hujan---"

"Terserah kamu."

"Kak ... tadi kan Lula udah---"

"Aku bilang terserah kamu!"

"Kakak marah sama Lula?"

Kak Firaz melepas genggamanku. Tubuhnya berbalik dan kini kami saling berhadapan. Mata kami bertemu, tapi aku segera berpaling karena sorot matanya cukup mengintimidasi.

"Bener ternyata, kan? Natta itu jauh lebih baik dari kamu."

Aku menoleh. Napasku mendadak menjadi intens ketika nama perempuan itu kembali disebut. Apa Kak Firaz belum bisa melupakan mantannya itu? Oke, aku tahu itu tidak mudah. Tapi bukan berarti dia harus seperti ini terus, kan?

"Lula capek. Lula mau istirahat." Aku lelah dengan sikap suamiku yang begini terus. Dia mengabaikan aku, mempermasalahkan orang-orang yang dekat denganku, tapi apa yang dia lakukan seolah-olah harus aku saja yang menoleransi.

"Kenapa? Kamu capek karena habis jalan sama dosen ganteng kamu itu?"

"Kenapa? Kakak cemburu?"

"Oo, kamu berani bentak-bentak sekarang, ya?"

"Kenapa Kakak enggak pernah dengerin dulu penjelasan Lula? Kenapa Kakak selalu sebut-sebut nama perempuan itu? Kenapa Kakak---"

"Kenapa? Cemburu?"

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang