Bagian Tujuh Belas

349 47 2
                                    

Perlahan kondisi kota semakin sepi setiap harinya setelah dikeluarkannya peringatan waspada oleh pemerintah pusat. Di kota besar, sebenarnya sudah diberlakukan pembatasan wilayah besar-besaran dan anak-anak sekolah mulai diliburkan. Sementara itu, kota tempat tinggalku masih beraktivitas seperti biasa walau tidak sedikit juga yang mulai menjauhi keramaian. Belum ada kasus yang terjadi di provinsi tempatku tinggal hingga sejauh ini. Karenanya, aku masih bisa pergi ke kampus dan mengajar. Hanya saja, dua anak dari total lima anak yang aku ajar memilih berhenti karena kewaspadaan orang tua mereka terhadap virus baru yang mengguncang satu dunia.

Sejak hari di mana Pak Dirka memanggilku ke ruangannya, tepatnya dua minggu yang lalu, dia tidak lagi sering memanggil nama lengkapku. Bahkan ketika di kelas, dia tampak menghindar setiap kali secara tidak sengaja mata kami bertemu. Aneh. Padahal jelas-jelas aku sudah meminta maaf padanya secara langsung hari itu juga.

"Aika, jangan kamu pikirkan apa yang dia bilang ke kamu." Pak Dirka menatapku lekat hari itu. Di balik meja kerjanya, dia serius sekali seperti sedang membicarakan kesalahan input nilai yang beberapa waktu lalu sempat membuat pusing staf jurusan.

"Ti-tidak, Pak. Aika ...."

Pak Dirka mengembuskan napasnya. Ibu jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang dilapisi kaca setebal setengah sentimeter. Kemudian, dengan cepat dia menegakkan punggungnya hingga dadanya menempel pada pinggir meja. "Jangan salah paham. Saya hanya mau Aika termotivasi oleh kamu yang tetap semangat belajar walau sedang kesulitan ekonomi," ucapnya dengan setengah berbisik.

"I-ya, Pak."

"Kamu berprestasi. Nilai kamu paling tinggi seangkatan. Kalau tepat waktu, kamu pasti akan mendapat predikat cumlaud. Itu akan baik buat kelanjutan pendidikan kamu."

Aku mengangguk sambil menjawab dengan terbata-bata. Apa Pak Dirka benar-benar hanya ingin mengatakan ini kepadaku? Setelah apa yang aku ucapkan ke Aika?

"Lula, saya pikir kamu---"

"Saya minta maaf, Pak. Saya tau saya salah. Saya lancang. Saya minta maaf." Aku menekuk leher hingga bisa melihat ada noda kecil di ujung jilbab.

Pak Dirka kembali menghela napas. Entah kesal atau lelah menghadapiku yang selalu saja membuatnya tak puas hati, yang pasti aku ingin cepat kembali ke kelas saja.

"Saya tidak bermaksud---"

"Maaf, Pak. Saya mohon undur diri. Sebenarnya saya ada kelas. Permisi, assalamualaikum."

Aku merutuki diri yang sering merasa bersalah dan tidak pandai menghibur seseorang. Setelah Aika merasa kecewa atas pernikahanku, dengan bodohnya aku mengatakan apa yang seharusnya tidak aku katakan. Walau matanya sempat berbinar sebentar, tapi setelah itu dia kembali murung. Katanya percuma saja, toh aku sudah menikah dan tidak mungkin abangnya akan merebutku dari Kak Firaz. Hanya saja, dia minta maaf karena mungkin akan berdoa sekali saja agar aku diberi kesempatan berjodoh dengan abangnya. Aika, dia aneh, seperti abangnya.

🌵🌵🌵

Kak Firaz sekarang sering pulang dan sering pergi juga. Hanya saja, dia selalu menyempatkan waktu untuk makan di rumah walau sekali sehari. Namun, perasaanku tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Entah apa penyebabnya, tapi ini benar-benar mengganggu.

Beberapa hari yang lalu, Ambu tampak mengobrol dengan Kak Firaz di ujung gang perumahan. Di pembelokan yang dua rumahnya kosong, mereka terlihat berbicara serius. Aku hanya bisa melihatnya dari depan rumah. Saat itu aku baru saja mengantar Cello yang dititipkan Mbak Ines karena harus mendampingi Pio mengikuti lomba menggambar di Gramedia. Suamiku tidak menjawab saat aku menanyakannya.

Mulai Senin besok, anak sekolah setingkat PAUD, TK, dan SD mulai diliburkan. Dan sepertinya jenjang lain akan segera mendapat jatahnya, termasuk universitas. Kasus yang terakhir kali ditemukan ternyata berasal dari salah satu warga kota tempat tinggalku yang melakukan perjalanan ke Jakarta. Setibanya di sana, dia dinyatakan positif hingga membuat pemerintah daerah segera mengambil keputusan bijak. Hal ini dilakukan untuk memutuskan tali rantai penyebaran. Kurang lebih itu harapan semua orang.

Sore hari ini pun aku rencanakan untuk membeli beberapa makanan instan untuk berjaga-jaga. Jika nanti toko-toko mulai ditutup seperti di kota besar, paling tidak ada makanan di rumah walau hanya sekadarnya. Mbak Ines pun berpikiran serupa. Kami berniat berbelanja bersama ke supermarket terdekat karena Kak Firaz sepertinya akan pulang larut malam. Siang tadi dia bilang ada banyak hal yang harus dilakukan. Penting.

"Onty!" Cello berlari ke arahku dan memeluk dua kakiku. Dia mendongak sambil memamerkan gigi kecilnya yang menghitam. "Kita pelgi ke pasal. Sama-sama. Holeee!"

Lekukan kecil di bawah matanya yang menyipit berhasil mengundang senyumku untuk terbit. Dia sudah tak segan mengadu kepadaku jika Mbak Ines lepas kontrol dan membentaknya yang kerap sulit disuruh makan. Beberapa kali dia memilih makan di rumahku. Alasannya karena ikan di rumahku gendut-gendut. Dia tidak suka ikan kecil-kecil yang ibunya masak. Padahal maksudnya dia tidak suka ikan teri, tapi lebih suka ikan sarden. Anak kecil itu, menggemaskan.

"Dek, Mbak tanya Ambu dulu, ya. Mana tau ada yang mau dititip."

Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Mbak Ines. Saat aku kembali melihat Cello yang sudah melepaskan pelukannya, dia malah menyodorkan sepotong kertas yang dirobek. Sambil tersenyum dia bilang itu untukku. Ada gambar bunga kecil di atasnya. Aku pun membalas senyumnya dan mengucapkan terima kasih.

Kami segera berangkat setelah Mbak Ines mencatat titipan Ambu. Tidak banyak, hanya beberapa obat dan buah. Sepertinya kesehatan Ambu kembali menurun.

Pio dan Cello seperti ayam yang dilepas dari kandang. Mereka tak mau diam mengelilingi supermarket. Aku dan Mbak Ines sampai kewalahan karena mereka. Cello sendiri malah tambah aktif ketika aku menyusulnya di rak sabun. Dia tertawa-tawa seolah sedang melakukan permainan. Bocah tiga tahun itu akhirnya berhenti setelah menabrak kaki seseorang. Lantas aku menghampirinya dan meminta maaf pada lelaki yang ditabrak Cello.

"Maaf, Pak, maaf, ya." Aku mengusap celana Cello yang jatuh terduduk barusan. Dia memanyunkan bibir bawahnya dengan mata berkaca-kaca. Sontak aku menggendongnya dan mengatakan tidak apa-apa. Namun, begitu aku berdiri dan melihat lelaki di depanku, ternyata itu adalah Kak Gilang.

"Lula?"

"Iya, Kak. Maaf ya, Kak."

"Anak siapa?"

"Anak Mbak Ines."

"Oo tetangga yang di depan rumah kamu itu, ya?"

Aku mengangguk. Tapi sepertinya ada yang berubah dari Kak Gilang. Tak biasanya dia membiarkan kumisnya tumbuh panjang. Selalunya dia terlihat rapi tanpa bulu di wajah. Dan matanya, itu terlihat cekung.

"Gimana kabar kamu? Lama juga enggak ketemu kamu, ya."

Benar. Sejak malam di mana dia bersama Natta ketika pindah rumah, aku tidak lagi bertemu dengannya. Padahal Kak Gilang masih aktif kelas di kampus, tapi entah kenapa kami tidak lagi berpapasan. Entah aku saja yang tidak menyadari kehadirannya, atau memang benar-benar tidak bertemu sama sekali.

"Alhamdulillah baik, Kak."

"Suami kamu?"

"Ba-baik."

"Syukurlah. Semoga rumah tangga kamu langgeng." Kak Gilang tersenyum. Kali ini aku tidak lagi enggan bertemu dengannya. Tidak seperti sebelum-sebelumnya.

"Aamiin. Makasih, Kak."

Aku segera menyusul Mbak Ines. Kami kembali mengambil beberapa barang dan memasukkannya ke troli. Sambil melirik ke arah di mana Kak Gilang tadi berdiri, aku merasa bahwa sepertinya dia sedang tidak baik-baik saja.

Aku dan Mbak Ines pun menghampiri outlet makanan untuk membeli ayam goreng. Pio sudah merengek sejak tadi ditambah Cello yang menginginkan balon helium. Tapi tiba-tiba Mbak Ines berputar arah. Dia menarik lenganku seketika dan berkata ada sesuatu yang lupa dibelinya. Ketika aku menoleh, samar-samar ada seseorang yang mirip Natta.

"Mbak pelan-pelan aja. Lula udah gede loh ini."

"Pio, lewat sini, Nak. Depan Mama."

"Mbak, kenapa?"

"Enggak pa-pa, Dek."

"Itu tadi Natta, kan?"

Mbak Ines berhenti. Dia tetap melihat ke depan dan tidak menoleh sama sekali. Pio sampai menarik-narik baju mamanya itu.

"Iya. Tapi bukan dia yang mau Mbak hindari, Lula." Mata Mbak Ines tampak sayu saat dia berbalik.

.
.
.
#TBC

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang