Bagian Delapan (b)

280 45 0
                                    

Kak Firaz duduk di meja makan saat aku masuk ke rumah. Wajahnya datar. Begitu aku menghampirinya, dia membuang wajah seolah-olah enggan menatapku. Aku hendak duduk di hadapannya dan menjelaskan mengapa Kak Gilang mengantarku pulang, tapi dia malah bangkit dan masuk ke kamarnya. Kepalaku mendadak jadi ikut berdenyut.

Babah, intan permata Babah ini rindu. Lula ingin memeluk Babah, bercerita bagaimana hari-hari setelah menikah, menjadi istri sambil berkuliah, juga mengerjakan tugas-tugas yang berdampingan dan kadang membuat lelah. Semua tidak mudah, Bah.

Aku memeluk bantal begitu memasuki kamar dan berbaring di ranjang. Entah karena hormon semata atau memang akunya yang lemah. Tapi rasanya hari ini benar-benar membuat tubuhku sakit semua. Juga yang ada di dalam sana.

Selepas menumpahkan segalanya, aku segera membersihkan diri. Sejak kudengar Kak Firaz pergi sesaat setelah azan magrib tadi, sampai sekarang dia belum pulang. Aku tidak berselera makan. Pun rasanya tidak kuat untuk memasak makan malam. Lagi pula, Kak Firaz tidak pernah menyentuh apa yang aku sediakan untuknya.

Entah jam berapa tepatnya, aku tertidur untuk mengurai rasa sakit yang timbul jarang-jarang. Tidak setiap bulan, tapi ada kalanya rasa ini datang di hari pertama datang bulan. Dan kini sudah jam sembilan lewat sepuluh menit.

Deru motor Kak Firaz berhenti di teras depan membuat aku bergegas untuk membukakan pintu. Hanya saja, begitu pintu kubuka sedikit karena sedang tidak mengenakan hijab, nyatanya dia tidak ada di teras. Hanya motornya yang terparkir. Pikiranku lagi-lagi tertuju pada indekos milik Ambu Isah. Apa jangan-jangan dia ada di sana?

🌵🌵🌵

"Kak, Lula mau ngomong sama Kakak. Sekarang," ucapku beberapa saat setelah Kak Firaz masuk ke dalam rumah.

Dia tidak menggubris dan terus melangkah menuju kamar mandi. Aku mengikutinya dan kemudian menunggu di meja makan.

"Kak."

Kak Firaz menatapku, lalu menghela napas dan entah melihat apa. Sementara itu, aku berdiri dan memintanya untuk duduk di hadapanku. Namun, seperti biasa, dia melenggang begitu saja dan seolah-olah menganggap aku tidak ada.

"Kak!" Kini aku menggenggam pergelangan tangannya. Ada gelenyar aneh saat aku bersentuhan kulit dengannya, tapi saat melihat tatapannya, semua sirna. "Lula mau bicara."

Kak Firaz menghentakkan tangannya. Genggamanku terlepas. Dia pun berjalan ke arah kursi yang ada di seberang meja, duduk dengan tanpa menatap ke arahku. Detak jantungku meningkat seketika diikuti rasa nyeri di bagian pelipis mata. Namun, tekadku malam ini sudah bulat.

"Kakak habis dari mana?"

Dia menoleh. Mata kami berserobok dan aku tidak ingin mengakhiri ini. Aku mengeratkan gigi dan menarik napas perlahan sebelum mendengar jawabannya. Tapi ternyata dia tidak mengatakan apa-apa.

"Sampai kapan Kakak akan melakukan hubungan terlarang itu?"

Kak Firaz tampak tidak suka. Dia melotot dan kulihat rahangnya mengeras. Sebelah tangannya yang ada di atas meja mengepal hingga urat-urat tangannya terlihat.

"Mau sampai kapan Kakak memberi gelar selingkuhan untuk perempuan itu?"

"Dia bukan selingkuhan! Natta itu pacar aku. Kamu yang orang ketiga di sini!"

"Tapi aku istri sah Kakak. Aku halal bagi Kakak dan dia haram bagi Kakak."

"Diam kamu!"

"Lula enggak salah. Dalam agama kita, hubungan kalian itu haram dilakukan." Dadaku semakin bergemuruh. Rasa nyeri di kepala juga kian terasa. Sementara Kak Firaz, dia terlihat berang sekali sekarang. "Kakak---"

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang