Bagian Empat (b)

344 50 2
                                    

Aku mengingat nasihat Babah dulu, saat aku tak lulus masuk madrasah impianku. Katanya, "Apa yang terjadi hari ini, suka tidak suka, ia adalah sesuatu yang Allah kehendaki. Jika hati kita sedih karenanya, maka bersabarlah. Jika kita bahagia karenanya, maka beristigfarlah. Bisa jadi kesedihan itu adalah yang terbaik untuk kita dan kebahagiaan itu adalah cobaan untuk kita."

Mengingat itu, aku berusaha untuk tetap bersyukur hari ini. Paling tidak, aku memiliki Laela yang terus mendukungku. Paling tidak, Kak Firaz sudah sah menjadi suamiku. Paling tidak, aku punya kesempatan untuk mendapatkan hati suamiku itu dengan cara yang halal.

"Lulaaa ...."

Panggilan Laela membuat aku terkejut. Bisa-bisanya dia meneriaki namaku tepat di samping telingaku.

"Pengang kuping aku, La. Engkau ni, kan." Aku mengusap telingaku beberapa kali.

"Engkau cakap kuping engkau pengang? Otak aku lagi panas tau. Tak sangka si Firaz itu boleh buat sahabat aku macam ni."

"Kak Firaz," sergahku.

"Hiish! Engkau ni, kan."

Aku berusaha tersenyum. Sejak tiba di indekosnya, Laela tak sungkan mengata-ngatai Kak Firaz di depanku. Baginya, aku adalah korban yang harus dia bela. Namun, dia adalah Laela, semarah apa pun dia, urusan perut tetap nomor satu.

"Beb, aku lapar la. Nak order sama dengan aku, tak?"

Baru juga aku membatin, ternyata perutnya sudah mengirim sinyal lebih dulu. Kami pun memesan makanan lewat aplikasi ojek online. Setelah bersantap, aku pun memilih pulang karena sore ini ada jadwal mengajar privat.

"Kamu beneran udah oke?" tanya Laela yang baru saja mengantarku pulang.

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Kan engkau dah maki dia tadi. Aku oke," jawabku.

Aku lihat Laela menarik napasnya cukup dalam. Dia menatapku lama sampai seorang wanita paruh baya menyapa kami. Beliau adalah penghuni rumah di sebelah rumahku. Lebih tepatnya, pemilik indekos dua lantai khusus perempuan yang kebanyakan dihuni mahasiswa dan pekerja minimarket.

Orang-orang biasa memanggilnya Ambu Isah. Seorang keturunan Sunda yang menikah dengan lelaki Mandailing dan menetap di Riau. Walau baru kenal, aku merasa nyaman dengannya karena beliau sangat ramah dan tidak pernah bertanya ini-itu tentang Kak Firaz. Tidak seperti tetangga yang ada di depan rumahku, selalu bertanya mengapa suamiku pulang larut malam atau apakah suamiku pulang atau tidak, ketika aku menjemur pakaian.

"Sudah pulang, Neng?"

"Iya, Ambu. Ambu dari mana? Kok jalan kaki?" tanyaku.

"Habis dari depan, beli obat."

"Ambu lagi sakit?"

"Pilek. Tadi habis bersih-bersih kamar yang kosong, banyak debu. Jadi alergi Ambu kumat." Beliau tersenyum, lalu menyeka hidungnya.

"Ada anak baru ya, Ambu?"

"Iya. Katanya mau masuk hari Sabtu besok. Pamannya udah bayar buat enam bulan."

"Oo gitu. Ambu jangan sungkan buat kabari Lula kalau ada apa-apa, ya?"

"Nuhun atuh, Neng."

Obrolan kami berakhir saat motor Kak Firaz memasuki pekarangan rumah. Ambu Isah dan Laela pulang begitu suamiku memarkirkan motornya. Tumben sekali suamiku itu pulang tengah hari. Apa mungkin karena pertemuan kami di fakultasnya tadi?

Aku mengikuti Kak Firaz yang masuk ke dalam rumah. Aku menunggu apakah dia akan membicarakan perihal tadi atau tidak. Namun nyatanya, dia terlihat akan pergi lagi setelah mengambil sesuatu dari dalam kamar.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang