Bagian Dua Belas

307 50 0
                                    

"Ai bilang Ai enggak mau les matematika! Ai enggak suka matematika!"

"Abang enggak mau tau, kamu harus ikutin kata Abang!"

"Abang jahat! Tukang ngatur!"

Suara pintu dibanting setelahnya membuatku enggan mengetuk pintu. Rumah yang aku datangi ini cukup besar. Gerbang masuknya pun sudah menunjukkan kalau perumahan ini cukup elit dibandingkan perumahan tempat tinggalku. Aku sempat diminta untuk menunjukkan KTP di pos sekuriti sebelum diperbolehkan masuk.

Setiap rumah tidak ada pagar yang menyekat. Selain itu, paling tidak ada satu pohon buah mangga di halaman pada tiap-tiap unit. Pun bunga pagar hijau seperti menjadi aturan di sini. Tingginya serupa, tidak lebih dari sepinggang orang dewasa. Ada taman bermain dan lapangan bulu tangkis sebelum aku tiba di rumah Pak Dirka. Dosen muda itu mengirimkan alamatnya tadi malam, saat aku baru saja membuat kopi untuk Kak Firaz.

"Bentar lagi guru yang ngajar kamu datang. Abang enggak mau tau, kamu harus belajar mulai sekarang."

Suasana cukup hening setelah suara Pak Dirka usai. Hanya suara bayi menangis dan tayangan televisi yang samar-samar kudengar, mungkin dibawa angin. Entah unit mana yang mengirimkan suara-suara itu. Semua pintu rata-rata tertutup saat aku melewatinya.

Baru saja aku hendak mengetuk pintu yang terdapat gantungan papan bertuliskan "Assalamualaikum", pintu tersebut lebih dulu dibuka dari dalam. Sosok dosen muda yang selalu sukses membuatku takut itu muncul setelahnya. Raut wajahnya tiba-tiba berubah datar dan mempersilakan aku untuk masuk.

"Tapi, Pak ... ." Rasanya aneh jika aku berada di dalam rumah bersamanya. Walau sebelumnya ada suara perempuan muda terdengar dari dalam, tapi rasanya tetap mengganjal.

"Di dalam ada ibu saya. Saya juga ada urusan di luar. Masuk saja dan tunggu sebentar." Pak Dirka meninggalkan aku yang sejujurnya enggan menuruti perkataannya. Aku pun menunggunya di teras saja.

"Lula Nandia?"

"Iya saya, Pak."

"Kan sudah saya suruh masuk. Kenapa masih di luar?"

"Enggak pa-pa, Pak."

"Bu, ini guru lesnya Aika. Nanti kalau Aika enggak keluar juga, Ibu bilang aja Ir bakalan cancel pendaftarannya di les bahasa Korea," ucap Pak Dirka. Dia menggunakan tas ranselnya dan mencium tangan ibunya. "Kamu Lula, buktikan sama saya kalau kamu benar-benar guru terbaik di bimbel Bu Mita." Dan kalimat itu untukku.

"In-insyaAllah, Pak." Nyaliku benar-benar ciut sekarang.

Dia pergi setelah itu. Ibunya Pak Dirka lantas mengajakku masuk dan berbincang sedikit. Beliau kelihatan tidak begitu sehat, bibirnya pucat dan matanya sayu. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi kecantikannya. Sekarang aku tahu dari mana asal ketampanan Pak Dirka, kualitas gen memang tidak bisa dimanipulasi.

Aku diminta menunggu selagi beliau mengetuk salah satu pintu kamar dan berlalu ke belakang. Beberapa saat setelahnya, beliau datang dengan nampan yang berisi air mineral gelas, teh kotak, dan sepiring biskuit.

"Disambi ya, Bu Guru."

"I-iya, Bu. Terima kasih."

Ternyata begini rasanya, mengajar keluarga dari orang yang kita kenal, canggung. Ibu itu pun berjalan kembali ke kamar sebelumnya dan mengetuknya. Ucapannya persis seperti apa yang dikatakan Pak Dirka sebelum pergi, "Buka pintunya, Nak. Ibu gurunya udah datang. Abangmu enggak main-main itu, nanti pendaftaran les bahasa Korea-mu dibatalkan kalau enggak mau keluar. Sayang uang pendaftarannya, nanti hangus."

Sepertinya, adik Pak Dirka lebih menyukai belajar bahasa dan seni. Beberapa anak juga aku temukan begitu. Tapi tidak semuanya lantas membenci matematika, tidak jarang mereka malah lebih cepat menguasai konsep materi karena terbiasa berpikir kritis dan kreatif untuk menguasai pola dan kosa kata bahasa asing.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang