Bagian Delapan Belas

316 54 6
                                    

Sosok itu ternyata benar-benar Natta. Perempuan yang terakhir kali mengirimkan pesan kepadaku untuk menyampaikan maaf dan doa. Tidak jauh darinya, ada lelaki yang sejak beberapa minggu ini memang kelihatan aneh. Kak Firaz. Katanya ada sesuatu yang penting hingga membuatnya pulang telat malam nanti. Tapi apa yang aku lihat sepertinya memberi jawaban yang pada dasarnya tidak sulit untuk ditebak.

"Lula." Mbak Ines menggenggam sebelah tanganku dengan tangannya yang dingin. Suaranya berat hingga membuat tengkukku merinding.

"Onty? Oke?" Dan bahkan suara Cello terdengar seperti nyanyian tengah malam. Perlahan, ada sesuatu yang merambat di dalam dadaku hingga rasanya sesak sekali.

"Dek." Lagi, Mbak Ines mengguncang tanganku yang ada dalam genggamannya. "Kita pulang, ya," ajaknya yang entah mengapa membuat langkahku menjadi mantap untuk menghampiri suamiku. Dia berdiri di balik dinding kaca supermarket dan pandangannya mengarah pada mantan kekasihnya yang tengah asyik memilih pakaian bersama seorang perempuan.

Genggaman Mbak Ines lepas. Aliran darahku kian deras seiring langkah yang mantap menuju lelakiku. Aneh, jantungku berdenyut kala membatin Kak Firaz dan menyebutnya demikian. Apakah ini sebuah pertanda, bahwa kata itu memang tidak layak aku ucapkan?

Tepat ketika aku hampir mendekati perempuan itu, dia terlonjak dan seperti ragu hendak menyapaku atau tidak. Bibirnya terbuka dan hampir saja namaku diloloskannya dengan sempurna tapi terhenti begitu aku melewatinya begitu saja. Sementara itu, lelaki yang menggunakan topi dan jaket hitam di dalam supermarket akhirnya menyadari kehadiranku. Mata kami bertemu diiringi deru napasku yang entah mengapa tiba-tiba memburu.

Tepat di depan lelaki yang dua bulan lalu mengikrarkan janji di depan penghulu, aku mengerahkan seluruh tenaga untuk berdiri tegak. Memaksa air mataku untuk tidak berhamburan mengikuti perasaan. Juga menggenggam kosong tanganku sekuat-kuatnya agar aku sadar, jika kesalahan-kesalahan ini bukan sepenuhnya milikku semata.

Dalam diam, aku menunggu Kak Firaz mengucapkan apa pun itu. Dalam penantian, pikiranku diaduk-aduk oleh cerita dari Laela. Sudah dua kali dia memergoki kakak tingkatnya ini berada di sekitar perempuan itu. Mereka tidak berjalan bersama-sama. Selalunya, lelaki ini berada tidak jauh darinya dan selalu mengikuti gerak langkahnya. Teman Laela bilang, itu adalah sebuah kesalahan. Dia mengikuti seorang perempuan, juga melupakan kehadiranku yang jelas-jelas terikat hubungan. Tapi aku menepis itu semua dan memaksa hatiku untuk tuli saja.

Kak Firaz masih diam. Aku pun sama. Dia membuka topinya, lalu menghampiriku. Setiap pengunjung yang akan keluar atau masuk melewati pintu kaca di dekatku pasti memberi tatapan aneh kepadaku, atau mungkin kepada kami. Sejujurnya, aku tidak suka itu. Apalagi ini akhir pekan. Ramainya melebihi hari biasa.

"Lula tunggu Kakak di rumah." Seusai mengatakan kalimat yang aku pilih dari sekian banyak kalimat-kalimat yang berkeliaran di kepalaku, lantas aku berbalik arah. Wajah terkejut perempuan itu sekilas membuat aku ingin menutup mata. Aku tahu, tatapannya bukan dikarenakan rasa bersalah. Mungkin dia sama terkejutnya denganku, tidak percaya bahwa kami dipertemukan dengan cara yang aneh ini.

Di sepanjang jalan, aku hanya diam. Ocehan-ocehan Cello yang semula riang, kini pun mendadak hening. Dari raut wajah Mbak Ines ketika aku mengajaknya pulang, sepertinya dia sudah mengetahui hal ini sebelumnya. Entahlah. Aku rasa, aku adalah yang paling bodoh di sini. Apa-apa yang aku lakukan seperti kertas ulangan dengan nilai rendah sekali. Dan kertas-kertas itu kemudian disimpan dengan cara asal atau bahkan dibuang cepat-cepat. Tidak berguna dan hanya mengundang kekecewaan.

Babah, Lula lelah, Bah. Lula lelah sangat-sangat. Ampunkan Lula tak ikut nasihat Babah seperti yang sudah-sudah. Jangan marahkan Lula, Bah. Lula mohon.

🌵🌵🌵

Setibanya di rumah, aku duduk di sofa ruang tamu beberapa saat sebelum akhirnya memastikan sesuatu di kamar mandi. Rasanya tidak asing. Nyeri yang biasa datang atau sesekali datang itu menambah keresahanku dalam mengambil keputusan. Aku pun kembali duduk di sofa untuk tiga orang itu sambil mengatur napas.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang