Bagian Sebelas

293 45 0
                                    

Jika saja aku tahu siapa Mbak Ines sebenarnya, apa yang akan terjadi? Apa yang akan aku lakukan sebelum menjadi lebih mudah mengobrol dengannya, walau dia yang lebih sering melempar pertanyaan untukku?

Malam itu aku mengetahui sesuatu. Meski masih samar, tapi sudah cukup jelas untuk menjawab rasa penasaranku akannya yang tiba-tiba saja disebut-sebut oleh Natta siang kemarin. Setelah mendengar suara pecahan kaca, aku lihat Ambu Isah tergopoh-gopoh mendatangi rumah Mbak Ines. Beliau bahkan tampak sambil menggunakan mukena saat berjalan cepat menyebrangi jalan selebar tiga meter itu. Begitu melihatnya, sontak perasaanku dipenuhi rasa penasaran, juga tidak enak sekali. Apa terjadi sesuatu dengan Mbak Ines?

Lantas aku bergegas menggunakan mukena juga agar lebih cepat. Sebelum menyusul Ambu yang sudah masuk ke dalam rumah Mbak Ines, aku berpamitan kepada Kak Firaz. Tentu saja tidak ada sahutan darinya, tapi setidaknya aku sudah izin.

Aku berlari kecil saat menyerang jalan. Sepintas aku lihat keadaan cukup sepi. Hanya ada sepasang muda-mudi di depan indekos yang tak berapa jauh letaknya dari rumahku. Lalu kemudian fokusku kembali pada pintu rumah Mbak Ines yang terbuka. Jika bukan karena Ambu yang tergopoh-gopoh kemari, mungkin aku memilih untuk tidak ke sini juga. Bukan sifatku ingin tahu urusan orang lain sampai begini sekali.

"Astagfirullah!" Aku mundur beberapa langkah saat baru masuk ke rumah. Pemandangan di hadapanku cukup ngeri. Wajah Ambu yang menangis membuat dadaku beegemuruh hebat. Bahkan di dalam kegelapan seperti sekarang ini, aku cukup merinding dibuatnya. Darahku seakan-akan mengalir deras ke segala pembuluh.

🌵🌵🌵

"La!"

Pukulan Nay di bahu membuatku tersentak. Pikiranku yang semula bak memutar kaset rekaman tadi malam mendadak berhenti. Suara riuh mahasiswa di lorong gedung pun mulai memenuhi pendengaranku.

"Ngelamun lagi?"

Aku menggeleng cepat. "Siapa bilang?"

"Itu, kamu diem aja dipanggil si Ipin kembaran kamu dari tadi."

"Hah? Ipin? Ipin siapa?"

"Ipin yang, 'betul-betul-betul!'. Temen kamu yang kemarin itu, loh. Laela."

"Hah, mana?" Aku celingukan mencari keberadaan Laela.

"Lagi markirin motor. Kena tegur kapten Menwa* tadi pas dia lewat. Soalnya Laela berhentiin motor di pinggir jalan."

Aku mendesah pelan. Rasanya aku harus bercerita dengan dua temanku ini. Kalau tidak, bisa-bisa kepalaku jadi pecah. Cukup memikirkan cara meluluhkan hati Kak Firaz saja yang berputar-putar di sana, jangan sampai masalah Mbak Ines ikut juga.

"Kalian, aku mau cerita," ucapku begitu Laela tiba dengan masih mengomel. Mungkin karena habis ditegur Kak Yislam, si kapten Menwa.

"Ceritalah. Dah macam nak masuk asrama batalyon je aku kenak tegur orang berseragam. Kalau dah macam ini aku tak dapat info dari engkau, naik pitam aku nanti."

"Kenapalah kembaran kamu ini, La." Nay menggelengkan kepalanya.

Bukan hal yang aneh, Laela memang seperti itu orangnya. Random sekali. Apa-apa yang dia ucapkan, jangan banyak diambil hati. Emosinya mudah sekali tersulut, tapi hatinya lunak. Sedih sedikit, air matanya akan tumpah.

"Kita cari kelas kosong, yuk! Aku enggak enak kalau cerita di sini." Posisi kami ada di tengah-tengah gedung yang salah satu sisinya seakan-akan menjadi lobi gedung. Kosong dan menghadap ke jalan.

"Di atas biasanya banyak yang kosong kalau jam segini. Ke atas aja?" tanya Nay berinisiasi.

Aku mengangguk. Sementara Laela seperti mencari sesuatu. Kepalanya celingukan ke arah kanan dan kiri lorong. Bahkan sesekali dia berjinjit dan mengawasi kelas lewat jendela.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang