Bagian Lima Belas (b)

325 56 8
                                    

"Lula, kenapa enggak bilang ke Ibu kalau selama ini kamu enggak dikasih uang belanja sama Firaz?"

"Lula masih ada uang kok, Bu. Lula enggak apa-apa."

"Enggak bisa gitu, Nak, kalian udah menikah. Firaz itu kepala rumah tangga. Dia bertanggung jawab untuk menafkahi kamu."

Aku terdiam. Dibandingkan nafkah uang dari Kak Firaz, aku lebih ingin suamiku itu memberikan cintanya lebih dulu. Bagaimana rumah tangga ini akan bertahan lama kalau cintanya saja bukan milikku. Bagaimana pernikahan ini akan menjadi ibadah terpanjangku kalau Kak Firaz saja terlihat enggan menjalani?

Entah dari mana dan bagaimana Ibu bisa tahu perihal ini. Tapi sepertinya Kak Firaz sudah tahu ini akan terjadi. Aku baru sadar kalau kamar belakang sudah kosong. Hanya tas Ibu yang tergeletak di atas kasur.

"Lula, kalau ada sesuatu yang perlu kamu omongin ke Ibu, cerita aja, Nak. Ibu ini ibu kamu juga."

Ibu, Lula hanya menjaga nama Kak Firaz sekalipun dia anak Ibu.

"Iya, Bu." Entah terlihat seperti apa senyum yang aku ukir. Mungkin saja kepalsuannya tampak lebih banyak dibanding kegugupanku.

"Firaz, Ibu enggak pernah ngajarin kamu yang buruk. Jadi, jaga Lula baik-baik. Ngerti kamu?"

Kak Firaz tidak segera menjawab, dia menatapku cukup lama hingga suara azan magrib mengalihkan kami semua. Aku segera bersih-bersih dan mengambil wudu, sementara Ibu kembali masuk ke kamar dan setelahnya pergi ke musala bersama Kak Firaz. Rumah yang tinggal aku sendiri saat ini entah kenapa rasanya mendadak sempit. Pikiran-pikiranku tidak mau diam. Gegas aku memastikan tidak ada barang Kak Firaz yang tertinggal di kamar belakang. Lebih-lebih jika ia berkaitan dengan perempuan itu.

🌵🌵🌵

Ibu akan menginap di sini sampai hari Minggu. Katanya, beliau akan sering mampir jika saja ada waktu. Permintaan roti dari toko Ibu sedang ramai dan bahkan pengiriman hingga ke luar Sumatera. Sepulangnya aku dari kelas tambahan di pagi Sabtu, Ibu bahkan langsung mengajakku untuk membeli beberapa elektronik: mesin cuci, kulkas, sofa, dan televisi.

"Bu, kebanyakan ini belanjanya," ucapku setelah Ibu melakukan transaksi di toko perabotan.

"Rumah kecil itu akan nyaman kalau diisi gini, Nak. Kamu enggak pengen beli apa-apa?"

Aku menggeleng. Bukankah yang lebih penting dari itu adalah manusia yang tinggal di dalamnya?

"Lula, ini mejanya cantik. Nanti bisa ditaruh di pojokan. Terus atasnya bisa buat---"

"Bu ...."

"Iya, Sayang. Kenapa? Mau yang model lain aja?"

Aku menggeleng cepat. Nanti bisa tambah banyak barang yang dibeli Ibu. "Lula enggak bisa lama-lama, Bu. Nanti jam tiga Lula ada jadwal ngajar les."

"Loh, kamu masih kerja?"

"Iya."

"Kenapa kerja, Nak. Kamu kan udah nikah, udah ada suami. Ya udah, nanti setelah ini kamu bilang aja ke dosen kamu itu kalau kamu enggak kerja lagi, ya?"

"Tapi Lula suka, Bu. Kak Firaz juga izinin. Hitung-hitung biar Lula terbiasa ngajar."

Ibu mendesah. Wajahnya yang berpoles riasan itu menatapku sebentar, lalu menengok jam di pergelangan tangannya. Perempuan berbaju kurung itu pun mendesah sekali lagi sebelum mengatakan sesuatu kepadaku. "Ya udah, tapi kita ke toko baju yang di sebelah sana dulu, ya? Tadi Ibu ada nampak baju bagus, kayaknya cocok buat kamu."

Aku mengangguk kecil. Ibu tidak memiliki anak selain Kak Firaz, jadi wajar agak sedikit memanjakan aku. Itu kata Acik saat aku meneleponnya di toko elektronik, sewaktu Ibu menumpang toilet. Bagaimana nanti dengan respon Kak Firaz? Aku tidak mau dia menilaiku yang bukan-bukan, tapi menolak pemberian Ibu juga tidak mungkin. Beliau sangat bersemangat sekali hingga senyumnya awet sepanjang kami berbelanja.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang