Bagian Tiga

397 58 2
                                    

Hari ini tepat hari ketujuh aku menyandang status sebagai istri dari Kak Firaz. Hari demi hari aku lalui dengan berbekal sabar serta percaya kepada Allah bahwa Kak Firaz adalah lelaki terbaik untukku. Dia adalah pemilik tulang rusuk ini.

Aku sangat bersyukur, Kak Firaz akhirnya pulang dan sepertinya akan tidur di rumah setelah beberapa hari terakhir hanya kembali untuk mengambil sesuatu dan kemudian pergi kembali. Berbagai macam cara  aku lakukan untuk menjadi wanita al-wadud. Wanita yang hatinya dipenuhi cinta dan kasih sayang. Dan orang yang paling berhak mendapatkannya sekarang adalah, Kak Firaz.

Setelah menunaikan salat Magrib, aku berdandan sedemikian rupa, memoles wajah, menyemprotkan parfum, menyisir rambut, serta menggunakan pakaian yang serba mini. Setelahnya, aku menunggu Kak Firaz pulang dari musala di meja makan yang sudah terhidang makanan hasil masakanku tadi sore.

Beberapa saat setelah bacaan doa diaamiinkan jemaah di musala, suara orang-orang pulang dari ibadah salat Magrib terdengar lewat di depan rumah. Jantungku berpacu seiring derap langkah mereka. Aku terus berusaha memantapkan hati agar tak malu-malu di depan Kak Firaz nantinya.

Hanya saja, hampir dua puluh menit aku menunggu, sosok imamku itu tak kunjung pulang. Hatiku was-was. Bagaimana kalau ternyata Kak Firaz tidak pulang lagi malam ini? Namun, baru saja aku bangkit dari duduk, pintu depan terbuka. Kak Firaz masuk tanpa mengucap salam. Begitu dia hampir mendekati meja makan, aku menghampirinya.

"Kak---"

Namun, lagi-lagi Kak Firaz tak menghiraukan aku dan berlalu menuju kamar. Setelah menutup pintunya, dia tak lagi keluar. Aku terus menunggunya sambil menimbang-nimbang apakah aku harus menyusul masuk ke dalam atau tidak. Bagaimana jika dia tak suka dan akhirnya marah kepadaku? Baiklah, pikirkan itu nanti. Sekarang aku harus berusaha untuk merobohkan tembok besar yang menghalangiku masuk ke hati Kak Firaz.

"Kaaak, Lula masuk, ya?" Aku benar-benar membuang rasa maluku untuk berujar dengan nada yang sangat mendayu. Jujur saja, ini sulit untukku karena sebelumnya aku tidak pernah berpacaran atau dekat dengan lawan jenis. Kalaupun aku menyukai seseorang, biasanya cukup aku dan Allah saja yang tahu. Namun, kali ini sudah beda, dia adalah suamiku. Bagaimana pun, aku harus bisa mengambil hatinya dan menggantikan posisi perempuan itu di hati Kak Firaz.

Perlahan, aku membuka pintu kamar yang syukurnya tidak dikunci dari dalam. Di sana, di atas ranjang, Kak Firaz sedang duduk membelakangiku. Sepertinya dia sedang bermain ponsel.

Aku berjalan mendekatinya. Saat tiba di sampingnya, aku kembali memanggil namanya dengan nada yang kubuat selembut mungkin. Walau mungkin hasilnya akan terdengar aneh karena ini adalah pertama kalinya aku melakukannya.

"Kak Firaz ... ayo, makan!" Aku menyunggingkan senyum untuknya. Namun, pandangannya masih tertuju pada ponselnya. "Kaaak." Kali ini aku memberanikan diri untuk menyentuh bahunya. Namun, baru saja tanganku hampir mendarat di bahunya, dia segera mengelak dan bangkit. Setelahnya, dia berlalu ke luar kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku berdiam diri di tempat. Berusaha menguatkan kakiku yang tiba-tiba melemah, menetralkan degup jantungku yang tadinya berdegup kencang, juga menahan genangan di kelopak mata agar tidak mengalir di pipi. Ini bukan pertama kalinya, tapi mengapa rasa sakitnya malah semakin menjadi?

Aku segera menyusul Kak Firaz setelah mengusap pipiku yang pada akhirnya basah karena air mata saat mendengar suara kunci motor yang diambil dari meja. Dengan mempercepat langkah, aku menarik jaket yang sudah dikenakan suamiku itu. "Mau ke mana, Kak?"

Dia berhenti, lalu menatapku sebentar. "Keluar," jawabnya, singkat.

"Enggak makan dulu, Kak?"

Dia tidak menjawab. Tangannya ditarik cukup keras sehingga genggaman tanganku pada jaketnya terlepas. Dia pun melangkah lagi.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang