Bagian Empat Belas

311 46 4
                                    

Pesan dari Natta tadi malam sempat membuat aku banyak berpikir. Sepertinya, perempuan itu bukan seseorang yang jahat. Dia rela memutuskan hubungannya yang sudah dijalin lama dan pindah tempat tinggal, padahal belum sebulan berada di indekos Ambu. Dia benar-benar menjauh. Seakan-akan memberi ruang untukku agar bisa mendapatkan hati Kak Firaz.

Pagi ini tidak ada kelas. Jam sepuluh sampai jam dua nanti barulah kelasku dimulai. Hanya dua mata kuliah untuk hari ini. Tapi sepertinya aku akan berangkat lebih awal karena hendak menemui Bu Mita. Dan sepertinya, sebelum menemui beliau, aku hendak menemui tetanggaku yang ternyata sudah pulang.

"Mbak?" Aku menyapanya saat dia berjalan gontai dari dalam rumah. Aku segera menghampirinya yang terlihat pucat dan tidak bersemangat. "Mbak enggak pa-pa? Mau ke mana?"

"Ke depan, Dek."

"Mau beli sarapan? Mbak mau beli apa? Biar Lula belikan."

Mbak Ines menggeleng. Mata nanarnya menatapku seperti ingin mengatakan sesuatu. Semakin aku lihat, wajahnya semakin tirus saja. Bahkan tulang selangkanya terlihat jelas.

"Mbak mau beli bubur ayam? Lula belikan. Mbak tunggu di rumah aja."

Aku hendak melangkah saat tangan Mbak Ines memegang lenganku. Begitu menoleh, ternyata dia sudah menangis. Bibirnya yang kering itu mulai bergetar. Ngilu. Itu yang aku rasakan saat melihat kondisinya saat ini.

"Mbak?"

Dia tetap tidak menjawab dan hanya menangis. Beberapa anak indekos Ambu yang baru saja keluar melihat kami dengan tatapan penasaran. Karenanya, aku pun membawa Mbak Ines masuk ke rumahnya. Setelah mendudukkannya di sofa, aku segera memeluknya. Dulu, setiap kali aku merindukan Babah dan berujung tangis, Acik akan memelukku. Hanya memeluk. Benar-benar hanya memeluk saja.

Tangis Mbak Ines semakin dalam. Aku sampai larut dalam isaknya yang menyayat-nyayat. Air mataku meleleh begitu saja. Sekuat tenaga aku menahan agar tangisku tidak pecah.

Setelah beberapa saat, akhirnya Mbak Ines mulai tenang. Dia terisak sedikit dan menghapus sisa air matanya di pipi. Wajahnya menunduk dan suasana menjadi hening serta canggung. Sebelumnya, pandanganku akannya lumayan tidak baik. Ini menambah rasa canggungku.

"Mbak---"

"Makasih, ya."

Aku terdiam. Baru aku sadari jika suara Mbak Ines selembut ini ketika dia berbicara dengan begitu pelan. Tangannya kembali mengusap pipi.

"I-iya, Mbak." Aku bingung. Perbincangan apa yang harus aku pilih agar tidak canggung, tapi juga tidak membuatnya semakin sedih? Ah, andai saja ada Laela di sini, dia pasti sudah mengucapkan kalimat lucu dengan logat Melayu-nya yang kental.

"Kamu gimana, Dek?"

"Hah? Gimana? Lula, Mbak?"

"Kamu sama suamimu itu."

"Aah ... itu, enggak gimana-gimana." Aku meloloskan sebuah senyum palsu. Semoga Mbak Ines tidak menyadarinya.

"Natta, gimana sama dia?"

Aku diam cukup lama. Pandangan kami bertemu dan akhirnya mau tak mau aku menjawabnya. Rasanya tidak enak jika aku berusaha tutup mulut dan pura-pura tidak tahu akan keterkaitannya dengan kepindahan perempuan itu.

"Mbak, Lula mau tanya sesuatu. Boleh?"

Mbak Ines mengangguk. Lagi, dia mengusap air matanya yang sepertinya sulit berhenti. Sesakit apa hatinya sampai dia tidak bisa berhenti menangis?

"Mbak ... ngomong apa ke perempuan itu? Waktu itu ... ."

"Pengalaman Mbak. Pengalaman pribadi yang paling Mbak sesali."

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang