Bagian Enam

315 45 2
                                    

Aku membulatkan tekad untuk menggantikan posisi perempuan itu di hati Kak Firaz setelah mendengar nasihat Ambu Isah tiga malam lalu. Benar, pohon kesabaran itu memang sulit dirawat, tapi bukan berarti mustahil. Apalagi buahnya tidak pernah mengecewakan. Aku akan terus meyakinkan diri ini agar bertahan dan memetik buah sabar itu.

Mengingat malam itu, saat Kak Firaz pulang tepat sebelum azan isya, membuat aku berani untuk menggantungkan harapan. Ternyata dia masih peduli. Walau senyum tak kunjung terbit di wajahnya kala bersamaku, tapi aku tidak mengapa. Aku cukup bahagia saat dia melempar kunci rumah di meja makan dan berkata, "Kalau hilang lagi, tanggung sendiri."

Hari-hari setelah itu pun Kak Firaz selalu tidur di rumah. Dia di kamar belakang, aku di kamar depan. Kami memang tidak pernah satu kamar, kecuali dua malam pertama saat di rumah Acik. Aku di ranjang, dia di lantai dengan beralaskan selimut. Aku tidak mengharapkan apa-apa karena sejujurnya pun aku belum siap untuk hal yang satu itu.

Lusa adalah hari kepindahan perempuan itu di indekos milik Ambu. Entah apa yang akan terjadi setelahnya. Mungkin tantangan kali ini akan lebih sulit karena kami tinggal berdekatan. Namun, sepertinya aku dulu yang harus memulai.

"Kak, enggak makan?" tanyaku saat baru saja keluar kamar dan mendapati Kak Firaz di ruang tamu dengan laptopnya. Dan seperti biasa, dia tidak menjawab apa-apa.

Aku pun berinisiatif untuk membuatkannya kopi hitam dari Lampung. Kata Ibu, itu adalah kopi favorit Kak Firaz. Syukurnya Ibu sempat membawakan sebungkus untukku. Selain itu, takaran antara kopi dan gula juga aku sesuaikan dengan kebiasaan Kak Firaz.

Aku menarik napas dalam sebelum mengantar segelas kopi panas ke depan. Sepintas, aku juga memastikan bahwa pakaian yang aku kenakan tidak merusak pemandangan. Walau belum berani menggunakan gaun tidur yang diberikan Laela sebagai hadiah, tapi piyama tidurku tidak buruk.

Saat berjalan perlahan dari dapur ke ruang tamu, fokusku tertuju pada Kak Firaz dan kopi yang ada di dalam gelas. Satu langkah, dua langkah, langkah demi langkah, aku sangat berhati-hati agar kopi yang kubawa tidak tumpah.

"Kak, kopinya." Aku meletakkan gelas dan piring kecil sebagai alasnya itu di sebelah Kak Firaz yang tidak ada tumpukan kertas atau buku.

Kembali hening. Aku pun menjadi kikuk karena duduk dalam satu ruangan seperti ini dengannya. "Revisian ya, Kak?" tanyaku, mencoba membangun komunikasi dengannya.

Satu detik, dua detik, dan detik-detik berikutnya, tidak ada respon sama sekali darinya. Baik, aku tidak menyerah. Aku pun segera masuk ke kamar, mengambil beberapa buku dan perlengkapan menulis, ponsel, meja lipat, juga sedikit menyemprotkan parfum. Setelahnya, aku duduk sekitar kurang dari dua meter di depan Kak Firaz. Kebetulan, di hari kedua kuliah ada tugas yang diberikan salah satu dosen. Sebenarnya semua dosen sudah membagikan materi apa saja yang akan kami pelajari selama satu semester, lengkap dengan tugas mandiri dan kelompok, tapi untuk tugas yang satu ini harus dikumpulkan Selasa depan. Lima soal hitung-hitungan dari bab awal mata kuliah Teori Peluang. Tepat sekali mata kuliah semester ini, kali saja aku bisa mengaplikasikan ilmu peluang dalam mendapatkan hati suamiku. Hampir saja aku tertawa saat membayangkannya.

Aku mengerjakan soal-soal dengan berbekal buku milik kakak tingkat kenalanku. Beberapa buku mata kuliah yang aku punya adalah miliknya. Katanya, daripada disimpan lama-lama, mending aku pakai saja. Lebih berguna.

Tak terasa aku malah menjadi asyik sendiri saat memecahkan soal sulit di nomor terakhir. Kalau saja bukan karena panggilan telepon via WhatsApp dari Laela, mungkin aku tidak sadar bahwa sudah jam setengah sepuluh malam.

"Lula, aku ganggu, enggak?" tanya Laela dari seberang telepon dengan suara berbisik.

Aku spontan menggeleng. "Enggak. Dah kenape?" tanyaku masih sambil membolak-balik buku demi mencari petunjuk penyelesaian.

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang