Bagian Sembilan Belas (b)

388 48 3
                                    

Aku dan Laela saling tatap. Kami bertanya sekali lagi untuk memastikan apa yang kami dengar barusan itu tidak salah dengar. Dan dengan tegas Dian menganggukkan kepala.

Bingung, antara ingin tertawa atau meratapi nasib. Entah mana takdir yang mungkin lebih baik jika aku diberikan dua pilihan. Hanya saja itu semua tidak mungkin dan sangat mustahil.

Laela kemudian menjelaskan bahwa aku tidak mungkin hamil saat ini. Selain sedang  datang bulan, walau tiba-tiba berhenti pagi ini, dia juga tidak sengaja mengatakan bahwa aku masih utuh dan belum tersentuh sama sekali. Lantas tiba-tiba Tias menggebrak meja.

"Enggak bertanggung jawab banget itu laki! Emang ya, luaran enggak pernah seratus persen bisa dijadikan penilaian. Nyesel pulak aku pernah suka sama dia. Ada gitu suami enggak pernah ngasih nafkah apa-apa ke istrinya?!"

"Iya kan, Wak. Aku pun. Menyesal sangat-sangat!"

"Nah, ini baru yang namanya dibangunkan kenyataan." Dian terkekeh. Sejak awal, dia memang tidak terlalu suka dua teman indekosnya itu mengelu-elukan Kak Firaz. Pernah sewaktu aku bertamu, dia berkeras bahwa tak semua yang tampak di mata itu apa adanya dan yang didengar telinga adalah benar adanya. Kadang-kadang, logika lebih relevan dalam sebuah penilaian.

Tias dan Laela bersungut-sungut sekarang. Aku tahu bagaimana perasaan mereka. Ya, kami dikecewakan kenyataan.

Setelah Dian tergelak puas melihat wajah dua temannya, sebuah suara dari luar indekos mengalihkan perhatian kami semua. Itu suara Nay. Aku paham sekali. Dan gegas Laela membuka pintu.

"Lula, kamu enggak pa-pa? Sakit apa? Ini masih kecium enggak? Aroma apa?" Nay menjejaliku dengan banyak pertanyaan. Dia bahkan menyodori aku sapu tangan yang disemprot parfum.

"Salam dulu kek, duduk dulu, atau apa gitu. Nyelonong aja, Mbak," celetuk Laela yang baru saja menutup pintu.

"Eh, maaf. Aku khawatir tau sama Lula." Nay lalu duduk di bangku yang kosong. "La, gimana? Demam? Susah napas? Lemes? Lidahnya mati rasa enggak? Ini bau apa?" tanyanya kemudian hingga membuat Dian terpelongo.

"Bah, bisa-bisanya Lula punya kawan kurang segaris semua." Tias pun menjadi pusat perhatian detik itu juga. Tapi, aku tak kuasa menahan tawa. Aku mengerti maksudnya.

Syukurnya Nay bukan tipe orang yang baperan. Dia malah ikut tergelak bersamaku dan Laela. Lalu Dian, dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tepat ketika itu juga, Laela lantas menceritakan bahwa pagi tadi Nay menghubunginya; menanyakan alasan ketidakhadiranku di kelas. Kemudian, semua mengalir begitu saja sampai dia mengetahui apa yang terjadi denganku sesungguhnya. Ada rasa malu sebenarnya. Tentu juga rasa tidak nyaman karena mereka membicarakan, mencela, juga menyumpahi suamiku. Ah, suami? Apakah itu masih layak aku sebut dalam hidup ini?

Nay ikut membolos bersamaku. Katanya, kelas tidak akan asyik bila tidak ada aku, padahal aku pun tahu persis, dia takut pada salah satu dosen mata kuliah hari ini. Aura dosen tersebut memang selalu sukses membuat kelas yang biasa ramai menjadi hening seketika. Dan, tugas yang diberikannya tidak pernah tidak membuat pusing kepala. Bukan, bukan Pak Dirka. Atau lebih tepatnya Pak Dirka versi perempuan, tetapi beliau tidak menuntut nilai tinggi. Dari pengalaman kakak tingkat, beliau tidak pelit nilai. Hanya saja, mental mahasiswanya akan selalu diuji setiap kali kelas beliau dimulai.

Seusai bercerita, Laela terdiam. Aku terdiam. Juga Tias, Dian, dan Nay. Hanya suara tetesan air keran di bak mandi yang terdengar nyaring. Entah apa yang ada di kepala mereka, tapi di dalam kepalaku, kata cerai terus berlari-lari dan tertawa-tawa. Sontak aku terkekeh ketika membayangkan hal itu. Dan entah kenapa, gelak tawaku pecah seketika saat menyusuri perjalanan hidup yang sudah aku lalui, sejak awal Ibu meminangku untuk putranya.

Aku terbahak. Ingin terus terbahak sampai perutku terasa sakit. Nyeri. Dan membuat tatapan menyedihkan pada wajah empat orang di depanku.

Sambil menahan ngilu-ngilu di perut, aku berusaha untuk berhenti tertawa. Kepalaku sudah pusing sekarang. Mungkin karena terlalu bersemangat tertawa. Tapi entah kenapa, tawaku yang semula pecah, menjelma isak yang tak kunjung sudah.

Seluruh tubuhku, setiap ruang di dalam hatiku, seperti sudah tak berdaya. Dengan brutal dan sisa tenaga, aku memukul setiap bagian tubuhku untuk membangunkannya. Menyadarkannya untuk tetap berjuang bersamaku.

Mereka berempat, Laela dan Nay, Tias dan Dian, lantas berombongan memelukku. Erat. Erat sekali sampai sesak-sesak yang memelukku sejak semalam kalah oleh eratnya pelukan mereka. Entah siapa yang menahan tangan kananku, entah siapa yang memcengkeram tangan kiriku, dan entah siapa yang memeluk kepalaku. Aku, entahlah.

🌵🌵🌵

Dalam gelap aku berdoa pada Tuhan, meminta napasku tidak diambil dalam waktu dekat, berharap bibit-bibit bunga ditaburkan-Nya di sisi-sisi jalan hidupku. Tidak mengapa ia bukan yang paling cantik kelopaknya, paling menarik warnanya, atau paling harum semerbak aromanya. Tidak mengapa bila ia hanya serumpun asoka yang jarang-jarang bunganya, asal ia berderet di sepanjang jalanku yang tidak beraspal. Tuhan, aku mohon.

Samar-samar terdengar suara-suara tidak asing merangkak dan mengetuk gendang telingaku. Kalau tidak salah menebak, itu suara Laela, dan Mbak Ines, dan Ibu, dan Acik. Ibu? Acik? Sontak aku bangkit dan membuka mata. Pusing. Itu hal pertama yang aku terima.

"Kalau Lula ingin menyepakati perceraian, saya rasa Ibu tak berhak melarang-larangnya." Suara Laela terdengar tegas, pun bergetar.

"Tapi masalah memang selalu hadir di awal-awal pernikahan, Nak. Lagian, ini rumah tangga mereka, anak Ibu."

"Tapi saya sepakat dengan sahabat Lula, Bu. Tidak ada pernikahan yang sempurna, benar. Hanya saja, anak Ibu sangat tidak sempurna untuk Lula yang setiap hari berusaha sempurna untuk suaminya. Saya bersaksi, Lula sudah melakukan semua yang terbaik yang dia bisa." Aku terhenyak dengan kalimat Mbak Ines. Dan tanpa terasa, mata dan dadaku menghangat.

"Kalian ini masih belia, belum tentu penilaian kalian tepat. Saya dan aciknya Lula sudah lebih banyak makan asam garamnya kehidupan. Dan saya rasa---"

"Maaf, Ibu, saya menyela. Hidup Lula, di sepanjang pernikahannya, yang saya lihat dari jendela kamar saya, dari pintu rumah saya, dan dari hati saya, dia tidak menerima asam dan garam yang masih bisa dinikmati dalam sekuali asam pedas. Saya melihat, saya merasakan, Lula bahkan mungkin tidak tau apa itu asam karena lidahnya sudah mati rasa dikarenakan anak Ibu." Aku tidak pernah menyangka, Mbak Ines bisa berbicara selantang dan sebijak itu. Membelaku.

"Cik, saya rasa kita bicara di rumah Firaz saja. Nanti kita bawa Lula pulang," ucap Ibu, terdengar ketus.

Gegas aku benar-benar bangkit dan hendak menggapai gagang pintu. Sepertinya, keputusanku sudah bulat dan Ibu harus tahu, dan semoga Acik mengerti aku. Tetapi, belum saja gagang pintu itu aku tekan dan tarik, suara Acik membuat pipiku basah seketika.

"Lula memang bukan zuriyat saye langsung, Puan. Tetapi, apa-apa saje yang buatkan dia bahagia, itu adalah kebahagiaan buat saye. Dan bilamana saye dapat tahu ini semua, hati saya hancur, Puan. Lula bukan anak yang bangkang, bukan anak yang mengeluh, sebab itu saye merasa bersalah dengan dia, dengan amak dia, dengan babah dia yang sudah percayakan saye untuk jage dia. Puan, jangan paksa anak buah saye untuk bersabar dalam derita yang anak Puan buat. Saye mohon, Puan."

Lantas aku segera membuka pintu, berlari mencari sosok ibu penggantiku, dan kemudian memeluknya, mencium aroma tubuhnya yang sepertinya bertambah kurus, lalu berkata, "Maafkan Lula, Acik."

.
.
.
#TBC



((Mewek lagi....))

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang