Bagian Lima

328 56 8
                                    

Bak petir yang menyambar di siang bolong, ucapan Ambu Isah sukses membuat gemuruh di dadaku bergumul-gumul hingga membuat suaraku tertahan di tenggorokan. Wajah perempuan itu pun mendadak kaku. Aksinya yang menyembunyikan kunci motor dengan bandul serupa milik suamiku itu pun tak luput dari perhatianku. Matanya yang enggan menatapku seolah-olah aku adalah seorang pelaku kejahatan yang paling ditakuti.

"Neng?" Panggilan Ambu membuatku terkejut. "Kenapa atuh?" ucapnya kemudian.

Perempuan itu kini menunduk. Sesekali melihat ke kanan, kiri, atau bagian lantai dua indekos milik Ambu. Dia tampak tidak tenang. Perhatianku kemudian teralihkan pada wajah Kak Gilang yang ternyata memperhatikan aku dan Kak Natta secara bergantian. Dia melipat tangan di dada sambil menyipitkan mata.

"Ambu, Lula izin masuk duluan, ya." Aku pun bergegas masuk ke rumah saat setelah mendapat anggukan dari Ambu. Dengan langkah lebar, aku berusaha untuk tetap tenang saat mencari-cari kunci rumah yang entah mengapa mendadak hilang. Semakin aku ingin cepat menemukannya, tanganku semakin gemetar.

"Kenapa, Neng?"

Aku menoleh dan menjawab pertanyaan Ambu, "Enggak apa-apa, Ambu."

"Kuncinya kelupaan?"

"Kayaknya, Ambu." Aku terus mencari-cari kunci tanpa bandul mainan itu di dalam tas.

"Telepon suaminya aja atuh, Neng. Mumpung masih terang."

"Suami siapa, Ni?"

Sontak pertanyaan Kak Gilang membuat aku beku di tempat. Aku tidak berniat menyembunyikan pernikahan ini, tidak sama sekali. Namun, mengingat perasaan Kak Gilang selama ini, tiba-tiba saja aku menjadi khawatir.

"Suaminya Neng Lula atuh, Jang. Katanya kamu kakak kelasnya, masa enggak tau kalau Lula udah menikah."

Perlahan aku memperhatikan wajah Kak Gilang. Jelas sekali dia terkejut. Senyumnya tiba-tiba lenyap bersamaan tatapan nanarnya ke arahku. Sementara itu, aku aku hanya mampu menghela napas. Apa yang sebenarnya aku pikirkan? Bukankah seharusnya aku senang jika Kak Gilang mengetahui pernikahan ini? Dengan begitu, mungkin dia tidak akan lagi mendekatiku secara agresif.

"Kapan?" Suara Kak Gilang terdengar lirih. Entah kepada siapa pertanyaan itu dilayangkannya, tetapi matanya masih setia menatapku.

"Masih baru. Iya kan, Neng?"

"Iya." Aku menjawab pertanyaan Ambu, tapi entah kenapa pandanganku malah tertuju kepada Kak Gilang. Ada pun Kak Natta yang berdiri di antara mereka tampak tidak terkejut sama sekali. Sangat berbeda dengan reaksi Kak Gilang saat ini.

Pertemuan tak terduga itu pun berakhir setelah pengeras suara dari musala menyala. Lantunan ayat Al-Qur'an dari salah seorang qori lewat audio itu mengisi senja yang kemerahan saat ini. Setelah mereka semua pulang, hanya aku yang duduk di teras seorang diri. Aku ragu jika panggilan teleponku akan diangkat oleh Kak Firaz. Namun, tak sedikit pun terlintas di benakku di mana aku meninggalkan kunci rumah tersebut.

Detak jam tangan di pergelangan kiriku seakan-akan memberi kabar bahwa hari mulai menua. Matahari sudah pulang ke peraduannya sejak tadi, tapi tubuhku belum juga beranjak dari teras yang mulai dingin. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya kuputuskan untuk menelepon suamiku.

Panggilan pertama tidak diangkat. Persis seperti dugaanku. Lalu panggilan berikutnya masih tidak diangkat. Untuk panggilan ketiga, aku sempat menarik napas dalam sebelum mendial ulang nomor Kak Firaz. Ada rasa pasrah juga khawatir saat panggilan itu mulai tersambung. Menjelang detik-detik terakhir, sebuah suara dari seberang telepon membuat sudut bibirku naik. Ada kelegaan yang menyertainya.

"Assalamualaikum, Kak. Ini Lula," sapaku sembari memperkenalkan diri. Takut-takut Kak Firaz tidak menyimpan nomor ponselku. "Kak?" tanyaku kemudian setelah beberapa detik tidak ada sahutan darinya.

"Kenapa?" balasnya, ketus.

Dengan menelan ludah aku beranikan diri untuk menyampaikan perihal kunciku yang hilang. Aku benar-benar takut dia akan marah karena keteledoranku ini. Namun, jawaban darinya sangat jauh dari bayanganku.

"Aku enggak peduli." Panggilan berakhir tepat setelah Kak Firaz mengatakan tiga kata tersebut.

Rasanya seperti besi panas yang ditempelkan pada bongkahan es. Sebegitu tidak diinginkannyakah aku?

🌵🌵🌵

Selepas salat Magrib, aku menghampiri Ambu Isah yang tengah mengaduk teh dengan masih menggunakan mukena berwarna putih. Wajahnya yang keriput memberi ketenangan tersendiri di hatiku. Bahkan senyumnya, mengingatkan aku pada Amak.

Beliau menawarkan aku untuk menunggu Kak Firaz di rumahnya saat keluar untuk membuang sampah dan mendapatiku masih setia di teras rumah. Sejujurnya aku ingin menolak, tetapi mengingat tetangga di depan rumahku beberapa kali mengintai lewat jendela kamarnya, aku pun memilih untuk menerima tawaran Ambu Isah. Kalau sampai langit menggelap dan aku masih duduk di teras menunggu kepulangan Kak Firaz, bisa jadi pertanyaannya besok pagi akan bertambah panjang.

"Mau ka mana atuh, Neng? Masih magriban gini."

Aku melihat Ambu tengah memperhatikan salah satu penghuni indekosnya yang baru saja turun tangga dengan pakaian rapi saat ini. Beliau berjalan dan meletakkan dua gelas teh di atas meja dekat sofa dan seperti sedang menunggu lawan bicaranya tiba di bawah.

"Mau keluar, Ambu. Cari makan." Perempuan yang memakai denim ketat dengan atasan kemeja dan hijab seadanya itu tersenyum dan menghampiri Ambu. "Enggak lama kok, Ambu. Boleh, ya?"

"Jam sembilan harus udah balik," ujar Ambu, tegas.

Perempuan itu pun mengangguk lalu pergi setelah mencium tangan Ambu, takzim. Sementara itu, pandangan Ambu tak lepas dari kepergiannya. Persis seperti Acik ketika aku kembali ke kota waktu lalu.

Aku dan Ambu pun bercakap-cakap kemudian. Duduk di sofa dekat tangga, sambil menikmati teh hangat dan biskuit kelapa. Ambu bercerita banyak hal tentang dirinya. Nikah di usia muda, merantau hingga berpindah-pindah kota, pun diuji dengan harta. Ternyata, Ambu tak satu-satunya istri dari sang suami. Beliau dimadu saat anak pertamanya menginjak usia remaja, ibunya Kak Gilang. Namun, baktinya tak pernah usai walau sempat harus mengenyam yang namanya patah hati. Di saat sang suami menderita stroke selama tiga tahun, beliaulah yang merawatnya dengan sabar. Hingga di akhir hayat sang suami, kata maaf darinya menjadi obat dari rasa sakit yang dipeluk Ambu setiap hari.

Aku menitikkan air mata tanpa sengaja. Sekarang aku tahu, kenapa Ambu tidak pernah bertanya apa-apa mengenai Kak Firaz yang pulang larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali. Benar kata orang, seseorang yang mampu melihat orang lain adalah pemilik luka paling dalam yang sebenarnya.

"Ambu ... ." Lidahku mendadak kelu. Aku tidak pandai menghibur seseorang, tapi entah mengapa aku ingin sekali membuat Ambu tersenyum malam ini.

Ambu mengambil sebelah tanganku. Beliau menepuk-nepuknya beberapa kali. Pandangannya terus tertuju pada tanganku yang jari manisnya melingkar sebuah cincin mahar dari Kak Firaz. Tidak lama kemudian, setitik air jatuh membasahi mukena Ambu.

Ada yang panas di sini, di mataku, juga di dalam dadaku. Apakah Ambu merindukan suaminya? "Ambu?"

Ambu masih terus menunduk. Bahunya mulai bergetar, membuat genangan di pelupuk mataku semakin banyak. Dengan mengatupkan gigi, aku menahan agar tangisku tak lolos di depan beliau.

"Ambu ... ." Aku memanggilnya dengan lirih saat beberapa waktu kami duduk dalam hening.

Tiba-tiba saja Ambu menarik dan memelukku. Bahunya yang tadi bergetar kini semakin bergetar. Dapat aku rasakan tangannya mengusap punggungku berkali-kali. Dan kalimat yang beliau ucapkan setelahnya, berhasil membuat tangisku pecah tak keruan.

"Anakku sayang, anakku sayang. Sakit hatimu akan terbayarkan. Pohon sabar itu memang sulit dirawat, tapi buahnya tidak pernah mengecewakan. Anakku sayang, anakku malang. Baru menikah, tapi sudah memikul beratnya pengkhianatan."

.
.
.
#TBC

Assalamu’alaikum. Siapa yang mewek, nih? Cung!

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang